Selamat Jalan, nak….

By | February 21, 2016

Pada kesempatan sebelumnya saya pernah bercerita tentang hewan pembunuh nomor satu di dunia. Bukan anakonda, juga bukan ular berbisa. Tapi hewan ini dekat dengan kita, serta ukurannya sangat kecil. Siapa dia? Nyamuk.

Menurut data WHO di tahun 2010 lalu, jumlah kematian yang disebabkan oleh nyamuk mencapai 660.ooo jiwa dalam setahun, lebih dari lima kali lipat dibandingkan kematian yang disebabkan ular. Bahkan akhir-akhir ini demam berdarah menjadi endemik di beberapa wilayah di Tangerang. Korbannya juga sudah banyak. Dan hari ini, ananda kami tercinta menjadi korban keganasan nyamuk aedes aegypti.

Namanya Zein Hakim. Usianya belum genap 7 tahun. Dia adalah salah seorang siswa kelas 1 di sekolah tempat saya mengajar. Baru saja dini hari tadi ibunya mengabarkan kalau Hakim berada di ICU karena kondisinya menurun, sekaligus memohon doa dari para guru dan orang tua yang lain. Tapi Allah berkehendak lain. Ba’da dzuhur, Hakim kembali menghadapNya.

Mendapat kabar dari bibinya yang juga wali murid di sekolah kami, tubuh saya merinding. Sedih dan berduka sudah pasti. Saya bahkan tak bisa membayangkan betapa kehilangan mama dan papanya. Saya bergegas mengunjungi rumahnya setelah mendengar kabar duka tersebut siang tadi. Namun terlambat, jenazah Hakim sudah dibawa ke pemakaman untuk dikebumikan.

Hakim (tengah) saat presentasi cara menanam tumbuhan di Taman Buah Mekarsari, November 2015 silam

Selamat jalan nak….. Semoga engkau menjadi sebab diberikannya pahala untuk kami, orang tua dan guru-gurumu.

“Mama… panggil bu guru, mama…”

Kesedihan mendalam tampak di wajah keluarga besar Hakim ketika saya tiba di rumahnya. Pun begitu ketika berjumpa dengan mamanya. Mamanya menangis sedih tersedu-sedu karena kehilangan putranya. Mata saya berkaca-kaca.

Saya dan beberapa guru akhirnya sempat duduk bersama mama dan papa Hakim, mendengar cerita mereka tentang detik-detik perginya Hakim. Dia memang sudah tidak masuk sejak Rabu. Jum’at dibawa ke sebuah rumah sakit di Citra Raya Tangerang. Namun karena kondisinya tak kunjung membaik, akhirnya Hakim dirujuk ke rumah sakit yang cukup besar di perumahan milik pengusaha Ciputra tersebut.

Ketika dirujuk, kondisi Hakim sudah menurun. Tapi masih bisa berkomunikasi dengan mama dan papanya. Bahkan ketika dokter dan suster mengambil sampel darahnya untuk dicek di laboratorium, Hakim berteriak dan minta dipanggilkan gurunya.

“Mama… panggil bu Guru, Mama. Hakim sakit….,” cerita mamanya menirukan Hakim.

Ini membuat saya merinding dan mata saya berkaca-kaca lagi. Saat kesakitan seperti itu, dia masih ingat dengan gurunya. Bukti betapa dekatnya dia dengan para guru dan betapa sayangnya para guru padanya.

Tapi apa daya, ketika hasil lab menunjukkan Hakim positif DBD, serta kondisinya yang kian menurun akhirnya harus dipindahkan ke ICU. Dan Allah lebih sayang padanya, sehingga memanggilnya terlebih dahulu dibandingkan kami semua.

Tak neko-neko dan cenderung baik

Di mata saya, Hakim anak yang baik. Dia hampir tak punya masalah di sekolah baik secara pribadi maupun dengan teman-temannya. Saya memang hanya sempat mengajarnya sebentar. Namun hampir setiap pagi ketika saya mulai akan menutup gerbang sekolah, saya selalu menjabat tangannya dan bertanya, “hari ini shalat subuh, nak?”

Kadang dia mengangguk. Kadang dia menggeleng. Tapi tetap saya jabat tangannya serta usap punggungnya. Ketika ia menggeleng saya hanya berucap “Besok pastikan shalat subuh ya nak. Kita perlu belajar untuk bisa shalat lima waktu. Seperti bayi, tak ada yang lahir langsung bisa berjalan. Perlu usaha dan belajar.” Lalu dia pun mengangguk dan masuk ke dalam kelas.

Suatu ketika, saya menemukannya mengamuk di luar kelas. Bukan marah kepada teman atau gurunya. Tapi hari itu dia malu. Malu karena datang terlambat, dan malu dengan kondisi bibirnya yang jontor entah karena terjatuh atau alergi. Wali kelasnya sudah tak bisa menanganinya sehingga saya pun harus turun tangan.

Saya datangi Hakim. Saya pegang tangannya. Saya tunggu sampai tangisannya sedikit mereda. Baru kemudian saya usap punggungnya sambil bertanya,

“Ada masalah apa nak? Cerita yuk. Pak Said ingin bantu Hakim selesaikan masalahnya.”

Dia hanya terdiam. Tapi saya tak putus asa. Saya ucapkan kata-kata yang membuat dia merasa diterima. Dan akhirnya dia pun mengangguk ketika saya bicara,

“Hakim kurang nyaman dengan kondisi bibirmu ya nak? Tidak masalah. Kalau sakit memang terkadang tubuh kita tunjukkan bentuk sakitnya. Misalnya dengan bengkak. Kepala Pak Said pernah terbentur dan benjol. Sakit memang. Tapi biasa saja”

“Pak Said sayang Hakim, semua guru sayang Hakim. Teman-teman juga sayang sama Hakim. Teman-teman tunggu Hakim. Semua mau bermain dengan Hakim.”

Lalu Marvel teman dekatnya dan beberapa teman lain mendatanginya, memegang tangannya. Ada yang membawakan tasnya, ada pula yang menuntun Hakim ke dalam kelas. Hari itu kelas tetap ceria seperti biasanya. Dan Hakim ceria bersama teman-temannya.

Semoga kita bertemu di Surga nanti…

Tapi kini, keceriaan Hakim hanya akan menjadi kenangan untuk kami semua. Wajah dan senyumnya, selalu membekas di hati kami. Mungkin kita tidak akan pernah bersua lagi di dunia ini nak. Tapi semoga kita bertemu di surga nanti. Dan engkau akan menjadi penolong kami semua. Aamiin….

miss u

Hakim (bawah – kedua dari kanan). Di sebelahnya ada Marvel teman dekatnya

8 thoughts on “Selamat Jalan, nak….

  1. Pingback: Mengenal Demam Berdarah Dengue dan Mencegahnya | Bangsaid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *