Merpati pun Terbang Berpasangan (FIKSI)

By | October 18, 2010


“Fan… merpati pun terbang berpasangan.” Itu kata – kata terakhir yang diucapkan Fitrah saat pergi meninggalkanku. Meninggalkanku dalam kesedihan, kesendirian, dan tanda tanya yang besar.

Sampai hari ini bahkan, aku belum mengerti apa yang menjadi alasan Fitrah tega meninggalkanku sendiri. Mungkin lebih tepatnya mencampakkanku yang juga segala hal yang indah baginya.

Tapi hari itu segalanya berubah. Aku bukan jadi yang Indah buatnya. Tapi kelam, karena dia dan juga aku telah jauh melampaui batas dan lupa akan fitrah hidup ini.

Hingga kemudian dia berkata, ”Aku nggak pantas menyandang nama ini kalau terus bersamamu.”

Sekali lagi, aku tak mengerti sama sekali. Ya, mungkin aku satu dari sekian makhluk Tuhan yang sama sekali belum pernah menyapaNya.

Aku mengenal Fitrah setahun lalu, tepat ketika ospek. Dia yang kebetulan satu jurusan denganku menjadi orang pertama yang menyapaku di pagi cerah, hari pertama aku menginjakkan kaki di kampus ungu.

”Hai, kenalkan, namaku Fitrah,” dia mengajak bersalaman.

Aku menjabat tangannya.

”Fando,“ jawabku singkat.

”Masih sepi ya? Mungkin kita kepagian,” dia mencoba berbasa – basi.

Aku masih diam. Namun tetap serius mendengarkan apa yang di sampaikannya. Sepertinya, Fitrah seorang yang gemar bercerita. Setengah jam di depan ruang Kajur, serasa cepat berlalu dengan cerita – ceritanya. Tentang keluarganya, sekolahnya yang dulu, juga tentang kelinci putih hadiah ulang tahun dari Pamannya.

Sejak hari itu, kami bersahabat. Seiring berjalannya waktu, persahabatan kami berubah. Karena mengenal Fitrah, cowok ganten dan ramah, kecenderunganku ketika masa SMA kembali. Dan aku menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar, mengingat sekarang aku punya teman yang mungkin bisa dibilang sejalan denganku.

Akhirnya kami lebih cocok dibilang sebagai sepasang kekasih. Kemana – mana selalu berdua, bahkan terkadang kami sering berpegangan tangan dan saling mensupport satu sama lain.


Awalnya, kami tahu apa yang kami lakukan merupakan sesuatu yang tidak biasa. Namun, hal yang tidak biasa di mata orang banyak itu akhirnya menjadi sesuatu yang wajar bahkan biasa kami lakukan.

Aku sangat menyayangi Fitrah. Begitupun dengannya. Terkadang, dia tak segan – segan menghabiskan waktu untuk mendengarkan keluh kesahku. Memberi solusi atas semua masalahku. Fitrah juga sangat perhatian. Hampir setiap minggu dia membawakanku berbagai macam cokies hasil percobaan resep – resep baru yang dia dapat di Internet. Dia sangat hobi memasak. Buatku dia sangat pandai, malah.
Semua berjalan lancar sampai akhirnya Fitrah mengenal Hendy, cowok berkacamata salah satu aktivis keagamaan di kampusku. Satu bulan lalu Fitrah mulai dekat dengan Hendy. Aku sedikit cemburu melihatnya. Dan aku juga merasa kehilangan. Fitrahku yang dulu seakan berangsur – angsur meninggalkanku. Dia mulai jarang menhabiskan waktu bersamaku.

Kulihat, dia malah sering bercakap – cakap serius dengan Hendy. Dan hari ini Fitrah menemuiku di perpustakaan.

”Fando, ada yang harus aku omongin ke kamu,” dia mendekatiku dengan mimik yang serius.

”Kenapa Fit?” tanyaku sedikit penasaran.

”Fan, ma..maafin aku,”

Ada raut kesedihan di wajahnya.

”Maafin kenapa? Karena kita sekarang jarang bersama?”

”Bu..bukan itu Fan,” selanya kemudian diam sejenak.

Aku melihatnya manarik nafas yang dalam. Ada sesuatu yang berat didadanya hingga bibirnya tetap mengatup untuk beberapa saat.

”Aku pengen, kamu janji kalau siap dan nggak marah dengerin aku,” sambungnya.

”OK, aku janji.”

Fitrah memegang pundakku dan meremasnya. Tapi, kemudian dengan segera melepasnya.

”Fando, aku sayang banget sama kamu. Bisa dibilang, kamu adalah sahabat terbaikku,” kata – katanya mulai mengalir lancar. ”Aku pengen hubungan yang jauh ini hanya sampai disini.”

Bagaikan tersambar petir saat mendengar kata – kata itu. Aku terdiam. Tak terasa butiran hangat mulai menggenangi bola mataku.

”Fan, aku…”

”Udah Fit. Terusin aja,” butiran hangat dimataku mulai luruh.

”Mungkin berat buatku, dan pasti berat juga buatmu. Tapi, ini yang terbaik bagi kita. Selama ini, kita salah. Kita salah menilai semuanya.”

“Jadi cinta kita salah?” Aku menangis.

“Cinta tak pernah salah. Tapi ekspresi cinta kita yang salah. Fando, aku tahu ini nggak mudah. Tapi aku sadar bahwa apa yang selama ini kita lakukan adalah sesuatu yang melanggar kodrat. Melanggar fitrahNya. Kalau kita teruskan, maka tak pantas buatku memakai nama ini.”

”Itu yang diajarkan Hendy padamu?”

”Terserah kamu menilai. Aku mulai menyadari semuanya ketika aku mulai membutuhkan sesuatu yang bisa membuatku lebih dari sekedar tenang. Dan mungkin, Hendy membuka jalan ke sana. Membuka jalan bagiku untuk kembali menyapa tuhanku. Tuhanmu. Allah…”

”Allah…?”

Keningku berkerut. Sudah berapa lama kata – kata ini tak pernah keluar dari lidahku.

”Aku ingin hidup normal. Seperti teman – teman kita yang lain. Punya istri, anak, dan membahagiakan semua. Nggak gampang memang. Tapi, semakin aku berusaha kesana, Allah semakin membuka lebar pintuNya.”

”Fando, aku tetap sahabatmu. Dan kamu sahabat terbaikku. Cobat kamu lihat kesana?“ Fitrah menunjuk ke luar Perpustakaan.

Aku menoleh.

”Lihat sobat, merpati pun terbang berpasangan….“

Note:
Cerita ini sudah pernah ditulis sebelumnya di blog saya yang lain :
http://satria248.multiply.com/journal/item/8
Saya persembahkan buat sahabat saya nun jauh disana. Tuhan punya rencana yang baik buatmu Sobat. Ada Cinta Sejati yang menantimu…
Sedang dikembangkan menjadi sebuah novel, lanjutan cerpen ini sudah dibuat namun belum dipublish saat Fando yang akan melangsungkan akad nikah bertemu Fitrah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *