Merindukan Nuansa Imlek di Kampung Halaman

By | January 29, 2017

Oleh orang-orang tua di kampung saya, Januari dan Februari disebut juga bulan basah. Bulan dimana hujan selalu turun hampir setiap hari.

“Maklum, kongian,” kata ibu saya.

Meskipun kami adalah keluarga muslim, karena hidup berdampingan dengan etnis tionghoa yang menyebar di Kota Koba, saya tidak asing dengan perayaan Imlek. Tahun baru Cina atau di kampung saya lebih dikenal dengan Kongian, memang selalu identik dengan hujan.

“Hujan itu berkah,” jelas teman saya yang merayakannya.

Turunnya hujan yang hampir setiap hari ini biasanya akan berlangsung hingga memasuki hari kelima belas menjelang perayaan Cap Go Meh.

Ko-Nian = Mengusir Nian

Kongian_TahunBaru_Imlek.PNG

Ko-Nian atau Kongian diartikan Mengusir Nian

Berbeda dengan di Pulau Jawa dimana Imlek dikenal dengan nama Sin Cia, di tanah kelahiran saya kami dan juga warga tionghoa disana menyebut hari raya ini dengan nama Kongian. Kata ini berasal dari bahasa Hakka atau orang Khek (sebutan etnis tionghoa di daerah kami) yakni Ko-Nian yang artinya adalah mengusir Nian.

Ceritanya Imlek dirayakan untuk menyambut datangnya Musim Semi. Konon ketika musim semi, datang seekor makhluk yang mirip binatang buas yang dinamakan Nian. Makhluk yang turun dari gunung dan laut ini datang untuk mengganggu manusia. Nah, untuk mengusir Nian manusia memakai pakaian serba merah serta membuat kebisingan dan menyalakan petasan. Inilah kenapa Imlek selalu identik dengan warna merah dan petasan.

Saya ingat ketika kecil sebelum pindah ke Pulau Jawa, malam sebelum hari raya Imlek petasan sudah dibunyikan dimana-mana.

“Itu tandanya besok Kongian,” kata ayah saya.

Apa Saja yang Khas dari Tahun Baru Imlek ?

Yang_Khas_dari_Imlek.PNG

Inilah yang khas dari tahun baru Imlek

Sudah hampir 13 Tahun saya meninggalkan kampung halaman. Perayaan Kongian di kampung saya menjadi kenangan tersendiri. Biasanya sebulan menjelang Imlek, teman – teman saya yang Khek maupun Hokkian sudah sibuk membersihkan rumah mereka Mulai halaman hingga dapur. Bagi mereka, membersihkan rumah menjelang Kongian adalah sesuatu yang wajib dilakukan.

“Rumah itu ibaratnya Jiwa. Harus bersih agar bisa menerima keberuntungan di tahun berikutnya,” jelas salah satu teman Tionghoa saya.

Tapi sehari menjelang Kongian dan 3 hari sesudahnya, mengeluarkan kotoran dari dalam rumah menjadi pantangan karena berarti membuang rezeki.

Begitulah, seperti orang – orang melayu menyambut Idul Fitri dan Idul Adha, orang Tionghoa membersihkan rumah hingga sehari menjelang perayaan Kongian.

Pun begitu dengan membuat Kue. Tradisi perayaan hari raya (Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru, Imlek) di daerah kami ditandai dengan hidangan makanan yang khas termasuk kue – kue, baik kue kering maupun kue basah serta aneka minuman. Dan tradisi saling mengunjungi rumah tetangga yang merayakan hari raya meskipun berbeda, tetap dilakukan.

Saya ingat, ketika kecil saya dan teman-teman tionghoa sibuk saling kunjung dan mengumpulkan angpao. Ketika saya merayakan Idul Fitri dan Idul Adha mereka berkunjung ke rumah kami orang-orang muslim . Sebaliknya ketika Kongianangpao dari para orang tua teman-teman saya berhasil dikumpulkan setelah mengunjungi rumah mereka.

Berbicara tentang kue, Kue keranjang adalah kue wajib yang harus disediakan ketika menjamu tamu yang berdatangan mengucapkan selamat hari raya. Dan pastinya Kue Keranjang atau bahasa Ibu saya Dodol Cina, selalu dibuat berbentuk Bundar. Katanya Bundar itu berarti kesempurnaan. Kue keranjang juga biasanya untuk menambah berkah dibagi – bagikan kepada tetangga sekitar rumah, termasuk orang Melayu seperti keluarga kami.

Selain membagi – bagikan Kue Keranjang dan Ang Pao (Untuk anak – anak), keluarga Tionghoa juga memberikan buah tangan Jeruk Ponkam untuk tamu yang mengunjungi mereka di hari raya. Menurut teman – teman saya yang Tionghoa, Jeruk itu merupakan lambang keberuntungan dan kemakmuran. Jadi wajar jika menjelang Kongian, Kuantitas penjualan Jeruk meningkat dimana – mana. ?

Kongian juga ditandai dengan pemasangan Lampion. Hampir setiap rumah orang Tionghoa di kampung kami memasang simbol pelita kehidupan ini di saat Kongian. Biasanya Lampion terbesar ada di Kelenteng (Tao Pe Kong).

Suasana Persiapan Imlek di salah satu Kelenteng di Kota Pangkalpinang

Suasana Persiapan Imlek di salah satu Kelenteng di Kota Pangkalpinang

Menjadi perantauan membuat saya merindukan suasana hari raya di kampung halaman. Tak hanya Idul Fitri dan Idul Adha, tahun baru Imlek menjadi salah satu kenangan indah tentang tanah kelahiran. Suasana hidup damai tanpa konflik semoga tetap terjaga hingga akhir masa nanti. Menjadi perantauan pula, teman – teman saya yang Tionghoa pasti melakukan tradisi Mudik disaat Kongian. Memang, tradisi mudik di kala Kongian ini hanya dilakukan oleh perantauan yang keluarganya masih hidup. Untuk teman – teman yang keluarganya sudah meninggal biasanya mudik di saat Sembahyang Kubur (Cheng Beng).

Festival Imlek Indonesia yang diselenggarakan oleh Kompas Gramedia dan Pemprov Sumsel

Festival Imlek Indonesia yang diselenggarakan oleh Kompas Gramedia dan Pemprov Sumsel

One thought on “Merindukan Nuansa Imlek di Kampung Halaman

  1. Alid Abdul

    Hoo ternyata Bang Said asli Bangka ya? Klo aku sewaktu kecil banyak temen Tionghoa, sampai dijuluki tetangga “anake cino” hehe. Lah gimana aku doang yang sering main sama anak-anak Tionghoa. Maklum suka gantian pinjem komik. Tapi seingat saya mereka gak merayakan Imlek, Natal pun sepi-sepi saja.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *