Agar Anak Terbuka dengan Orang tua

By | March 30, 2016

Saya membiasakan disiplin sejak dini kepada anak-anak di sekolah. Meskipun tahapan disiplinnya menjadi berbeda-beda. Untuk anak SMP sendiri saya sudah mengenalkan konsekuensi yang diusahakan selogis mungkin terhadap tindakan indispliner yang dilakukan siswa. Misalnya, saya memiliki aturan bahwa tugas proyek wajib tuntas sebagai syarat mengikuti Ujian Tengah Semester atau Ujian Akhir Semester. Tapi sudah 3 kali mengadakan ujian, ada saja anak yang akhirnya harus ikut ujian susulan. Mau protes, ini sudah bagian kesepakatan. Akhirnya mau tak mau yang susulan ketika tugas proyek diselesaikan.

Suatu waktu salah seorang wali murid yang anaknya tidak mengikuti ujian mendatangi saya. Tidak dalam rangka protes sih sebenarnya. Beliau sudah paham kesepakatan yang saya buat dengan anak-anak. Yang beliau lakukan lebih kepada curhat tetang anaknya.

“Pak, gimana saya menangani Fauzan ini? Dia nggak ngomong sama sekali lho kalau ada tugas matematika,” kata beliau menyesali kenapa anaknya sampai tidak bicara padanya.

“Akhirnya jadi begini kan. Tiap ada masalah, tidak pernah bicara. Di rumah kalau ditanya, selalu diam. Dari SD lho pak. Masalahnya ini saja. Tak pernah ngomong-ngomong tentanb pelajarannya. Yang ada ketika sudah kejadian seperti ini, repot sendiri. Ini juga saya tahunya dari Bu Harmi wali kelasnya,” sambungnya lagi.

“Bagaimana cara ibu memulai pembicaraan dengannya?” tanya saya menyelidiki.

“Ya begini pak. Tiap dia pulang ke sekolah, saya selalu tanya. Ada tugas tidak?” jawabnya.

Saya tersenyum.

“Harusnya ibu evaluasi dan bertanya pada diri sendiri. Kenapa anak saya tidak mau bicara pada ibu. Apakah cara kita memulainya yang salah? Atau waktu kita berbicara yang kurang tepat,” kata saya.

Ibu itu terdiam. Sebelum dia siap nyerocos lagi, saya segera lanjutkan pembicaraan saya.

“Ibu pikirkan dulu deh. Apakah cara ibu bertanya membuat Fauzan nyaman? Bukankah ketika anak pulang dari sekolah kondisi tubuhnya sedang lelah. Kalau baru juga sampai di rumah ibu sudah bertanya macam-macam, wajar anak tidak menjawab. Apalagi memulai pembicaraan lebih banyak,” sambung saya.

Komunikasi berterima sangat penting antara orang tua dan anak

Komunikasi berterima sangat penting antara orang tua dan anak (ilustrasi, sumber : twoshouldknow.org)

Sadar ketika besar

Banyak juga orang tua lain yang memiliki masalah seperti yang dialami oleh ibunya Fauzan itu. Anaknya menjadi agak kurang terbuka pada orang tua. Menjadi masalah jika sudah pada usia remaja tidak juga terbuka sama orang tua tentang masalahnya. Usia remaja yang kritis dimana anak lebih nyaman berkomunikasi dengan temannya akhirnya membuat anak lebih terbuka terhadap masalahnya kepada teman. Yang ditakutkan, iya kita teman yang menerimanya ada di lingkungan yang baik. Kalau ia diterima di lingkungan yang buruk, wah…. masalah besar.

Terkadang orang tua baru menyadari ini ketika anak sudah terlanjur besar. Seperti ibu Fauzan, baru sadar dan menyesali kenapa anaknya sulit diajak berkomunikasi antara orang tua dan anak ketika Fauzan sudah masuk usia remaja. Lha, selama ini kemana aja bu?

Memulai komunikasi yang positif dengan anak harusnya dimulai sedini mungkin. Agar di usia-usia selanjutnya anak merasa nyaman untuk menumpahkan masalahnya kepada ayah maupun ibunya. Ini tidak harus menjadi tugas ibu saja. Ayah juga memiliki peranan penting. Setidaknya ketika sang anak belum terbuka sama ibu, ayah menjadi pilihan baginya untuk menyampaikan permasalahan dirinya. Atau sebaliknya tak ada ayah, ibu pun jadi. Namun tentu akan lebih baik jika anak nyaman berbicara baik kepada ibu maupun ayahnya.

Bagaimana membuka komunikasi dengan anak?

Selain dimulai sedini mungkin dengan rajin berbicara kepada anak, yang lebih penting adalah memulai komunikasi tersebut agar anak bisa terbuka terhadap orang tua. Dalam sebuah seminar bersama Bunda Elly Risman,Psi beberapa waktu lalu, beliau memberikan cara ampuh untuk membuka komunikasi dengan anak. Ada dua kunci utama yakni, baca bahasa tubuh dan dengarkan perasaan.

Orang tua lebih senang menasehati dibandingkan mendengarkan perasaan anak. Seperti ibu Fauzan tadi, belum apa-apa sudah bertanya “ada tugas tidak?” ketika anak sampai di rumah.

Padahal kalau mau lebih jeli, lihatlah bahasa tubuh anak. Pandangi wajahnya, lihat gerakan tubuhnya, dan perhatikan cara dia berjalan. Bisa jadi anak sedang lelah, sedih, kesal, atau mungkin marah. Disinilah kata-kata pembuka itu menjadi penting. Kita bisa membuka dengan pertanyaan : Capek ya? Sedang sedih? Mama lihat sepertinya sedang kesal, kenapa? dan sebagainya.

Berikan kesempatan kepada anak untuk bercerita lebih banyak. Ini artinya orang tua harus menahan diri untuk tidak buru-buru memberikan nasihat macam-macam. Ketika anak sudah mau bercerita atau menjawab pertanyaan sebelumnya, bantu anak untuk mau menceritakan lebih banyak lagi dengan sedikit tanggapan seperti : Hmmm…., oh begitu… bagaimana itu bisa terjadi?, Menarik sekali!, Benarkah?, Coba ceritakan lagi supaya mama mengerti, dan lain-lain.

Dengan mendengarkan serta memberikan lebih banyak kesempatan untuk anak bercerita akan membuat anak merasa diterima. Efeknya anak merasa nyaman dan senang menyampaikan masalahnya kepada orang tua.

Jadi ayah bunda, jangan tunggu anak besar. Bantu mereka untuk lebih terbuka dengan kita sedini mungkin.

4 thoughts on “Agar Anak Terbuka dengan Orang tua

  1. Khair

    dan tentunya mulai komunikasi dengan anak membicarakan hal2 yang dia sukai, gimana mas? benarkah

    Reply
  2. Jarwadi MJ

    semasa kecil saya sering dimarahi karena nakal, hehe

    sekarang mempunyai masalah seberat apapun rasanya saya tdk mau cerita sama siapapun 🙂

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *