Minggu kemarin adalah kembalinya saya mengajar di kelas rendah (baca:kelas 1-2 SD). Sesuai dengan permintaan dan keinginan untuk mempraktikkan ilmu-ilmu pendidikan anak usia dini yang sudah pernah didapatkan sebelumnya, akhirnya tahun ajaran ini saya diberikan oleh kepala sekolah lagi jam mengajar kelas 1 dan 2 SD. Yah, meskipun hanya sebatas menemukan penggantinya nanti. Tapi tetap saja, ini selalu menjadi tantangan buat saya berhadapan dengan anak-anak dengan aneka ragam perkembangan, yang kami terima di sekolah tanpa tes sama sekali.
Tepatnya Selasa lalu, saya mengajar sekolompok anak kelas 2 yang dilebur menjadi 2 kelompok belajar (tadinya 3 kelompok dengan jumlah anak 13 orang per kelompok). Pekerjaan atau proyek harian anak di Sentra Matematika saat itu adalah membuat Kartu Bilangan dengan materi bilangan ratusan dan Nilai Tempat. Kartu bilangan yang akan dibuat anak terdiri dari 2 lembar kertas yang berbeda. Bagian depan dari bahan kertas HVS berisi lambang bilangan dan nama bilangannya, sedangkan bagian dalam akan dibuat dari bahan kertas buffalo yang isinya merupakan nilai tempat dan bentuk panjang bilangan tersebut.
Setelah memberikan aturan serta menjelaskan prosedur kerja, semua anak bekerja di kelompoknya masing-masing. Saya pun berkeliling memberikan arahan dan pijakan secara individu agar hasil kerja anak sesuai dengan yang diharapkan. Di tengah-tengah waktu kerja, seorang anak tiba-tiba mendatangi saya. Sebut saja namanya Desi. Ternyata dia minta lagi 2 macam kertas yang sebelumnya sudah diambil dari rak.
Saya pun bertanya, “Kemana kertas yang sebelumnya sudah Desi ambil?”
Desi diam namun kemudian menjawab, “Aku belum ambil kertas, pak?”
“Sepengetahuan bapak, tadi Desi sudah ambil kertas. Dan sudah dilem di empat sisi (padahal harusnya dilem di satu sisi). Kemana kertas yang tadi?,” tanya saya mencoba menyelidiknya.
“Aku belum kerja pak,” Desi menjawab dengan wajah yang memelas.
“Oke. Desi tunggu disini sebentar.”
Saya pun keluar kelas dan berusaha mencari kertas Desi. Saya tahu Desi mencoba bicara tidak benar, karena saya melihat pekerjaan Desi sebelumnya yang tidak sesuai prosedur kerja. Saya menuju tempat sampah dan mengais sampah yang ada di dalamnya. Benar saja, kertas Desi saya temukan dengan kondisi sudah diremas. Saya segera membawanya ke kelas.
Saya tidak marah. Dan memang tidak seharusnya marah.
“Naah, ini punya siapa?” tanya saya pada Desi sambil menunjukkan kertas dari tempat sampah tadi.
“Itu tadi salah,” Desi akhirnya mulai mengakui.
“Oh, jadi ini punya Desi?”
Desi mengangguk pelan seperti ingin menangis.
“Ini salah ya? Kalau salah, tinggal kita perbaiki. Desi bisa bicara sama Pak Said. Pak, pekerjaanku salah. Pak Said akan lihat. Siapa tahu masih bisa diperbaiki, kita akan perbaiki sama-sama.”
Desi diam sambil menundukkan kepalanya.
“Pak Said senang kalau Desi bicara yang sebenarnya. Kalau memang ini tidak bisa diperbaiki, baru kita ganti. Desi boleh ambil lagi kertas yang baru. Tapi pastikan gunakan kertas dengan hemat.”
Akhirnya Desi mengakui kesalahannya. Dan hari itu dia menuntaskan pekerjaannya.
Mengapa anak-anak berbohong?
Berbohong (berkata tidak sesuai dengan faktanya) seolah-olah sudah dekat dengan anak usia dini. Anak-anak mulai belajar berbohong dari lingkungan terdekatnya, semisal orang tua atau anggota keluarga lainnya. Anak usia 3 tahun mudah sekali meniru apa yang orang dewasa lakukan. Jadi orang tua atau guru, harus benar-benar menjaga perkataannya. Pikirkan matang-matang sebelum berucap atau berkata-kata di depan anak usia dini. Contohnya ketika kita ingin anak makan. “Makan yuk.. nanti mama belikan eskrim”. Tapi setelah anak menyelesaikan makannya, orang tua malah lupa apa yang pernah diucapkan. Dari sini anak belajar inkonsistensi ucapan.

Agar anak tidak berkata bohong
Beberapa alasan lain anak-anak berkata tidak benar, seperti :
- Menutupi sesuatu (Bisa jadi kesalahan yanng dilakukannya seperti kasus Desi atau kekurangan yang dia miliki), sehingga bisa mencegahnya dari mendapat hukuman atau konsekuensi
- Ingin diperhatikan (misalnya anak mengarang cerita tentang jalan-jalan ke luar negeri untuk mendapat perhatian anak lain)
- Ingin memperoleh sesuatu (yang tidak bisa ia dapatkan ketika bicara jujur).
- Memanipulasi situasi. contohnya anak bicara pada nenek “Mama, aku mau makan eskrim dong” berharap disetujui mama karena nenek.
Umumnya, anak-anak berbohong di usia antara 4-6 tahun. Jika tidak dibangun atau diberikan arahan yang positif, sikap ini akan semakin berkembang. Anak-anak menjadi lebih ahli berkata bohong melalui bahasa tubuh yang makin hari kian terbiasa. Di usia sekolah dasar, kebiasaan berbohong semakin menjadi. Anak akan menjadi terlihat sangat meyakinkan. Sampai pada usia delapan tahun, anak bisa berbohong dengan canggih sehingga sulit dibedakan antara berkata benar dan bohong. Tentu ini tidak kita harapkan karena sangat berbahaya untuk masa depan anak.
Apa yang harus dilakukan saat anak berkata bohong?
Tetap berpikir positif. Tekankan pada anak tentang pentingnya kejujuran di lingkungan keluarga atau sekolah. Ketika menghadapi anak yang berkata bohong, sampaikan bahwa kita sangat menghargai kejujuran dan tidak menyukai kebohongan. Seperti yang saya lakukan pada Desi, saya perlu katakan bahwa saya senang kalau Desi bicara jujur, atau tidak nyaman ketika Desi tidak menyampaikan hal yang benar.
Dan yang paling penting, lebih baik mengajarkan anak tentang nilai nilai kebenaran (berkata benar) daripada sibuk memberikan hukuman atas kesalahan kecil yang anak lakukan. Ajak anak berdiskusi. Berikan penjelasan tentang akibat dari berkata bohong seperti tidak disukai orang lain (Bisa dilakukan melalui cerita atau kisah-kisah penuh hikmah) dan membuat orang lain tidak percaya lagi dengan kita.
Jangan sekali-kali melabeli anak dengan kata-kata “Pembohong”. Labelling seperti ini justru akan merusak self-esteem anak dan membuat anak menjadi terus berbohong.
Terakhir, senantiasa doakan anak-anak kita. Semoga mereka semua menjadi anak yang shaleh dan shaleha.
Wallahualam’.
yang namanya anak-anak, copy pastenya memang cepat banget >,< semoga kita semua bisa terus belajar menjadi orangtua yang baik, pastinya hindari berbohong ^^
kadang mereka salah mengambil sikap akibat kelalaian karena ingin menghindari resiko reaksi yang menyudutkan mereka yo mas
Betul sekali…
Makanya sebaiknya ya kita hindari menyalahkan anak-anak. Toh, mereka dalam proses belajar hidup
Keren sekali cara mengajar bang said,, mudah-mudahan saya siap menerapkannya untuk anak saya kelak
Amiin
Menjadi guru pasti menyenangkn y, walau yg dididik anak anak orang..
Tp bida menyelami sikap2nya termasuk pas mereka berkata tidak jujur
Buat saya, jadi guru anak usia dini benar-benar sangat menyenangkan
Terima kasih informasinya 🙂