Anak Membully dan Suka Menyalahkan Orang Lain, Kok Bisa?

By | August 18, 2015

Jadi orang tua itu nggak mudah. Bahkan akan diminta pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Karena itu, jadi orang tua kudu banyak belajar. Baik belajar dari membaca (buku atau artikel) maupun membaca yang terjadi di sekitar kita, menjadikannya sebagai pengalaman hidup yang berarti untuk bekal anak-anak kita nanti.

Namun, banyak juga orang tua yang ‘malas’ belajar sehingga akhirnya kemampuan mendidik anaknya hanya itu-itu saja. Dampaknya banyak, anak tidak berkembang seperti yang diharapkan. Bahkan beberapa orang tua menjadi kurang dihormati anak. Semuanya kembali kepada kita sebagai orang tua.

*Hohoho… pengantarnya sampai dua paragraf. Padahal sebenarnya hari ini mau cerita tentang bully-membully dan menyalahkan orang lain. Kenapa anak bisa membully? Kenapa pula orang-orang dewasa Indonesia saat ini mudah menyalahkan orang lain ketimbang mengoreksi diri sendiri?

Istri saya masih punya adik yang berusia balita. Usianya sekira 3,5 tahun. Jadi jaraknya dengan Al tidak begitu jauh, yakni hanya sekira 2 tahun saja. Tapi namanya usia toddler, pengaruh persepsi pribadinya masih sangat besar. Apalagi egoismenya. Jadi, usia ini jumlah mainannya harus satu-satu. Kalau tidak, sudah pasti rebutan.

Adik istri tersebut sering main ke rumah. Al pun senang kalau ada dia di rumah. Termasuk kami. Lumayan ada teman main untuk Al. Tapi ya begitu… harus selalu dalam pengawasan. Nah, inilah yang menjadi masalah. Saya tidak bisa selalu mengawasi atau menemani mereka main. Paling-paling neneknya Al. Tapi, jujur ya. Nenek-nenek lebih cenderung memanjakan cucunya daripada mendidik. *sorry to say mom (Kecuali beberapa nenek yang belajar tahapan perkembangan anak).

Karena yang ada di rumah hanya mainan milik Al, rebutan sudah pasti tidak bisa dihindarkan. Kalau sudah begini, orang dewasa sudah harus turun tangan. Selama diberikan pijakan yang tepat, masalah selesai. Misalnya ketika Al sedang naik sepeda, tiba-tiba bibi kecilnya itu kepengen naik juga. Rebutan sepeda pun terjadi. Al yang tubuhnya lebih kecil, tentu kalah. Kalau sudah begini, Al biasanya menangis. Atau sebaliknya saat bibi kecilnya sedang main mobil-mobilan, Al langsung mengambil mobil-mobilan tersebut karena mengira miliknya. Akhirnya, rebutan mainan terjadi lagi.

Pijakannya yang bisa diberikan pada anak yang rebutan mainan misalnya dengan bicara lebih banyak kalimat seperti “Main bersama” atau “bergantian” “satu-satu ya…” “sayang adik/kakaknya” dan sebagainya. Memang masalah tidak langsung selesai. Tapi, mengalirkan kalimat-kalimat positif akan membuat otak anak dipenuhi dengan hal-hal positif pula.

Sebaliknya, kalau pijakannya salah masalah-masalah baru bisa muncul di kemudian hari. Contoh pijakan yang salah atas kasus di atas adalah yang dilakukan oleh nenek Al. Saya merasa wajar, mengingat beliau belum tahu ilmunya. Sang nenek tentu membela anak yang lebih muda usianya donk ya, dalam hal ini Al. “Ih… ati Iyin nakal. Sini… itu kan mainan Al. Pukk..,” sambil memukul pelan si bibi kecil. Tidak sakit sih, tapi sangat berbahaya baik bagi Al maupun si bibi. Disini secara tidak langsung Nenek sudah ‘mengajarkan’ Al untuk ‘arogan’ mentang-mentang itu benda/mainan miliknya. Pun begitu… memukul si Bibi meskipun pelan atau mungkin tidak kena, tetap membekas di kepala Al bahwa, masalah ini bisa diselesaikan dengan memukul. Tentu ini sangat berbahaya secara psikologis.

Tidak dipungkiri, apa yang dilakukan oleh Nenek Al mungkin terlihat lumrah di dekat kita. Atau bisa jadi ada pembaca yang pernah melakukan hal yang sama. Contoh lain ketika anak jatuh karena tersandung kursi. Bukannya mengingatkan anak untuk berjalan hati-hati dan mengontrol gerak, orang tua malah menyalahkan kursi sambil berucap “Kursinya nakal ya,” dan memukul kursi tersebut. Disinilah anak belajar menyalahkan orang lain atas masalah yang dia terima ketimbang mengoreksi diri sendiri. Konsep ini pun membekas dan terbawa hingga usia dewasa.

Pijakan salah lainnya ketika anak rebutan mainan adalah membiarkan anak yang direbut untuk mengalah *lho… kok ngga boleh mengalah?. Membiarkan barang milik Al diambil sudah pasti membiarkan benih-benih bullying hidup di kepala si Bibi dan membuat Al menjadi anak yang tidak mampu menangani masalah. Anak-anak yang terus merasa dirampas akan menyimpan ini di memori otaknya sampai akhirnya menemukan anak lain yang lebih lemah dan melampiaskannya pada anak yang lemah tersebut.

Tentu kita tidak ingin sifat-sifat negative (khususnya bully dan menyalahkan orang lain) ini hidup bersama anak-anak kita. Yuk, sama-sama kita memperbaiki diri menjadi orang tua yang dicintai. Semoga bermanfaat…

4 thoughts on “Anak Membully dan Suka Menyalahkan Orang Lain, Kok Bisa?

  1. Berita Unik

    Hal-hal kecil seperti di atas memang sangat penting ya,, makasih ya bisa jadi bekal jika punya anak nanti,, biasanya karena orang tua yang selalu sibuk dengan pekerjaan yang menyebabkan berpikir simpel ,,mungkin karena capek juga setelah seharian kerja…eh anaknya rewel…

    Reply
    1. bangsaid Post author

      Hehe begitulah jadi orang tua. Harus berkorban banyak hal demi anak

      Reply
  2. Hastira

    betul sekali, semua tergantung didikan orang tua. Orang tua juga harus banyak belajar tentang pengasuhan dan disesuaikan dg karakter anak

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *