Bahwa Sekolah bukan Pabrik Robot

By | December 26, 2013

Pembagian rapor sudah usai. Wajah – wajah letih para guru sudah berganti dengan keceriaan menyambut liburan. Meskipun, saya dan beberapa teman guru di sekolah tidak libur seperti kebanyakan guru lainnya. Saya masih harus ikut meeting dengan yayasan dan kepala sekolah. Masih harus memikirkan perubahan jadwal belajar di semester 2. Masih sibuk dengan lembar evaluasi siswa dimana hasi evaluasi tersebut menjadi dasar menentukan materi dan tema belajar di semester berikutnya. Saya menikmatinya, menikmati liburan yang sesungguhnya tidak libur ini.

Sayangnya kenikmatan liburan ini harus diganggu dengan telepon dari satu orang tua yang tidak terima nilai anaknya. Saya sih tidak ditelepon. Yang ditelepon adalah guru Sainsnya. Karena memang yang tidak diterima adalah nilai mata pelajaran Sains. Karena tidak puas dengan jawaban dan argumen dari sang Guru, orang tua tersebut pindah ‘meneror’ lewat sms guru lain yang tidak ada hubungannya dengan kelas di mana anaknya belajar. Mungkin karena sama – sama perempuan (sedangkan guru Sainsnya bapak – bapak). Dan guru inilah yang kemudian mengirimkan semua sms dari si orang tua ke saya.

Yah bu, saya kecewa. Masalahnya ini sudah kelas 5. Itu kan mapel yang di-UN kan. Sudah saya hitung NAnya. Kalau segitu, gimana anak bisa masuk SMP Negeri nanti. Harusnya jangan terlalu rendah untuk nolong anak nanti. Nah kalau kayak gini

Wow, rajin sekali orang tua ini. Sudah hitung NA (Nilai Akhir di ijazah). Padahal nilai NA itu adalah gabungan nilai dari kelas 4, 5, dan 6. Sedangkan anaknya baru juga berada kelas 5.

Kalau 3 pelajaran ini di rapor kecil, nanti di akhir yang repot, dan susah bersaing dengan sekolah lain. Kalau dari Al-Amanah banyak yang kecil otomatis banyak yang ga bisa masuk negeri. Kan 40% dari nilai rapor. Jangan terlalu saklak nanti anak yang jadi korban. Saya aja kecewa. Kalau gini anak saya susah dong sekolah di negeri. Lampu merah. Yah kalau pada saklak tidak ada toleransi ya saya juga harus siaga daripada anakku tar susah cari sekolah, lebih baik  sedia payung sebelum hujan. Anak lain juga yang nilainya kecil harus diwaspadai.

Oya, sejak awal kelulusan (sekolah kami sudah meluluskan 3 angkatan), persentase anak yang melanjutkan ke SMP Negeri hanya sedikit. Tidak lebih dari 30%. Selebihnya memilih sekolah swasta favorit, sekolah dekat rumah, atau pesantren – pesantren di luar kota. Bahkan anak – anak yang nilai UN nya 10 di tahun kemarin, tak satupun yang masuk ke SMP negeri. Jadi itu pilihan.

Soal Saklak, nilai minimal 60 adalah kebijakan sekolah. Kalau mau jujur, nilai anak sang Ibu jauh di bawah standar 60. Tapi sekolah punya kebijakan untuk membantu di nilai Akhir, memberikan nilai minimal 60 di rapor kelas 4,5, dan 6 khusus untuk 3 mata pelajaran tadi dengan catatan program remedial harus dilakukan.

(Ilustrasi) Pemaksaan Orang Tua terhadap Anak

Saya tidak ingin menyalahkan si orang tua. Maklum, paradigmanya masih standardized based ( UN Oriented – berorientasi nilai) sedangkan sekolah kita di 3 tahun terakhir ini sudah beralih ke paradigma perkembangan anak sehingga yang jadi fokus perhatian kami para guru adalah perkembangan anak setiap semesternya, anak per anak. Di tambah lagi memang sistem pendidikan negeri kita masih punya paradigma yang sama. UN yang katanya di hapus dan sudah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi tetap dilaksanakan oleh pemerintah.

Banyak usaha yang kami lakukan, misalnya lewat kegiatan parenting. Sayangnya memang si Ibu menurut catatan kami hampir tidak pernah hadir di acara parenting yang tentunya bisa membuka wawasan baru untuknya. Beberapa kali kami mengundang pakar – pakar pendidikan yang salah satunya adalah pakar multiple intelligence Indonesia, pak Munif Chatib, yang sebenarnya bisa mengubah mindset sang Ibu agar tidak hanya memaksa anaknya memperoleh nilai bagus. Karena pemaksaan kognitif hanya akan menyebabkan kemunduran akhlak dan kreativitas. Sekali lagi saya tidak ingin menyalahkan sang ibu. Mungkin karena beliau guru di SD Negeri, sehingga beliau ingin menyamakan proses “pengolahan nilai” di sekolah negeri dengan sekolah swasta.

Terima kasih saya ucapkan kepada sang Ibu karena telah membuka mata kami bahwa ternyata masih ada orang tua yang belum memiliki visi yang sama dengan sekolah. Justru ini merupakan semangat bagi kami untuk terus berusaha mengubah cara pandang para orang tua terhadap sekolah. Bahwa sekolah bukan pabrik robot. Sekolah adalah tempat segudang kreativitas yang menghargai semua bakat dan minat siswa. Sekolah adalah tempat mencetak pribadi yang ulil albab, adaptable (mampu beradaptasi), pandai belajar, dan cinta belajar.

Sumber gambar : watatita.wordpress.com

12 thoughts on “Bahwa Sekolah bukan Pabrik Robot

  1. isnuansa

    Atau gini juga yang saya suka dengar: “Mama aja dulu waktu sekolah selalu rangking satu, masak kamu sekarang sepuluh besar aja nggak bisa…”

    Reply
    1. bangsaid Post author

      dih’ itu parah banget mamanya. Masa isi kepala anaknya mau disamain sama isi kepalanya :-D. Everybody is unique

      Reply
  2. Zizy Damanik

    Jadi ingat jaman dulu masih sekolah. Karena masuk sekolah unggulan, malu kalau nilainya jelek, karena itu sama saja mengecewakan orang tua. Kalau menurutku sih, semua orang tua tidak bisa santai dengan pendidikan anaknya. Jadi kekhawatiran pasti ada, terutama dengan ketatnya persaiangan sekarang. Mau masuk SD swasta saja misalnya, harus ujian dan rebutan kursi. Mau santai tak bisa, karena sebagai orang tua memang tak bisa santai kalau berususan sama anak.

    Reply
    1. bangsaid Post author

      mungkin karena aku juga belom jadi orang tua yang anaknya sekolah ya kak. Belum bisa sama perasaannya dengan si Ibu. Tapi pelan – pelan sih mau ngubah paradigma pendidikan di negeri ini. Khususnya di sekolahku dulu

      Reply
    1. bangsaid Post author

      Kenyataan ‘pahit’ 😀
      Semoga kita tdk jadi orang tua spt itu ya

      Reply
  3. Hanif Mahaldi

    di swasta di terror ibu murid, di negeri kayak apa ya? teman saya ibunya guru disekolah SMA negeri, di dapati anak didiknya nilainya kurang, ditegur atasan, ditegur juga sama ibu murid, anaknya dipanggil bimbingan gak pernah masuk, duh gaswat pendidikan kita ya. 🙂

    Reply
    1. bangsaid Post author

      PR besar bangsa ini. Mulai dr Sistem Pendidikan hingga paradigma para pelakunya (Ortu, Murid,Sekolah)

      Reply
  4. Naufal

    Wah, sampe neror ke guru-guru ya? Harusnya anaknya dulu di uprek-uprek, :[. padahal masih kelas 5. Hebat Ortunya bisa ngitung NAnya padahal belum tau nilai kelas 6.

    Reply
  5. kopisusu

    mungkin karna sistem pendidikan yg formil diterapkan masih serba “tidak jelas” ya mas, jadi masih banyak yang selisih faham tentang arti pendidikan itu sendiri bagi sang anak. di satu sisi, banyak pihak yg berusaha memperjuangkan sistem-pendidikan-berbasis-perkembangan-tiap-anak yg berarti penilaian tidak hanya didapat dari nilai ujian saja tetapi juga dari sisi yang lain.. di tapi di satu sisi, pemerintah masih menggunakan sistem-nilai mutlak untuk masuk ke sekolah negeri.

    Reply
    1. bangsaid Post author

      betul, sistem pendidikan secara umum kita ketinggalan jauh dengan negara lain. Negara2 dengan sistem pendidikan terbaik tidak menyelenggarakan Ujian yang bersifat Nasional

      Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *