Lagi – lagi : Buku Pelajaran Sekolah Tak Layak Pakai

By | July 15, 2013
Dunia Pendidikan Indonesia tercoreng lagi. Dan kasusnya berulang kembali. Setelah buku Pendidikan Budaya Jakarta yang membuat cerita tidak senonoh dan LKS bergambar M*yabi, kali ini muncuk kasus serupa. Di Bogor, Komite SDN Polisi 4 menemukan buku paket/ bahan ajar yang menampilkan cerita tidak senonoh alias berbau cabul di buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas 6.
Sangat menyedihkan. Seolah bangsa ini tidak belajar dari kesalahan yang telah lalu.
Seperti yang ditulis di blog Komite SDN Polisi 4, termuat sebuah cerita berjudul “Anak Gembala dan Induk Serigala” yang isinya ternyata sangat tidak pantas dibaca oleh anak usia Sekolah Dasar. Masalahnya, kenapa buku tersebut bisa lolos dan dipakai oleh sekolah? Dari dua kasus sebelumnya, kasus ini memiliki kesamaan. Ketiganya diterbitkan oleh penerbit lokal. Seperti buku Budaya Jakarta dan LKS M*yabi, penerbit yang menerbitkan buku – buku tersebut bahkan tidak terkenal di daerah lain.

Bisa disimpulkan bahwa proses editing terhadap buku – buku tersebut asal – asalan. Asal jadi, lalu menjadi bahan proyek sekolah atau dinas pendidikan setempat agar dapat dipakai banyak sekolah. Mudah – mudahan hanya prasangka saja.

Apakah Perlu Buku Paket?

Jawabannya antara perlu tak perlu. Punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, anak – anak punya pegangan dan tentu bisa belajar dan mengulang pelajaran di rumah. Guru pun lebih mudah merancang pembelajaran karena semua sudah disiapkan oleh penyusun buku. Orang tua jadi tau apa yang dipelajari anak dan bisa membantu untuk belajar di rumah.

Kekurangannya? Tak sedikit juga. Guru menjadi kurang kreatif karena semua sudah tinggal pakai. Bahan pelajaran jadi terbatas mengingat semua terpaku pada buku paket. Anak – anak menjadi tidak terlatih untuk mau dan rajin mencari tambahan informasi. Lagi – lagi karena semua sudah disediakan buku paket. Belum lagi kadang – kadang materi di buku tidak sesuai dengan perkembangan anak. Dan tentu rawan dengan kasus – kasus di atas meskipun ini bisa diatasi dengan penggunaan buku paket berkualitas dari penerbit terkenal. Tapi tetap butuh biaya lebih karena harus membeli.

Semua kembali kepada sekolah, orang tua, dan para guru. Jika ingin pendidikan Indonesia menjadi lebih baik, selain peran pemerintah, 3 komponen tersebut harus bersinergi dan saling mendukung. Selain itu, perlunya evaluasi dari pembelajaran yang telah lalu. Peran pemerintah sebagai penentu kebijakan pun harus jelas. Pengadaan sarana belajar termasuk buku pelajaran harus merata ke seluruh pelosok negeri. Pengawasan yang ketat terhadap penerbit dan sekolah pun dirasa perlu dilakukan. Mau berubah dan mau bekerja keras, tentu akan membantu pendidikan Indonesia lebih maju.

18 thoughts on “Lagi – lagi : Buku Pelajaran Sekolah Tak Layak Pakai

  1. giewahyudi

    Seperti sinetron, bukunya dibikin secara striping dan lupa kalau bukunya diperuntukkan untuk anak sekolah.. Duh!

    Reply
    1. Said Rahman

      Kalau boleh jujur sih iya Om. Makanya saya di sekolah mulai menghilangkan buku paket yang tiap taun dibayar mahal oleh ortu. Cuman butuh kerja keras karena apalagi sekolah swasta kaitannya sama yayasan (p)

      Reply
  2. Lombok

    Tahapan pertama, itung jumlah lembaran, trus itung2 per lembar untung brp, trus cari tempat cetak yg lebih murah, trus turunin kualitas agar untungnya lebih besar.. Yang terakhir bikin perjanjian pembagian keuntungan.. Jadi kontennya gak keurus 😀

    Reply
  3. KA WIdiantara

    saya juga gak ngeh kenapa belakangan ini buku semacam itu bisa terbit. apakah ini salah cara untuk mensosialisasikan sek education ? saya kira juga tidak.

    Reply
  4. Zizy Damanik

    Kelewatan banget, kasih buku seperti itu untuk anak SD. Duh mudah-mudahan pas anak saya SD nanti tidak ketemu buku kayak gitu.

    Reply
  5. Miko S

    haduuu, yg paling parah tu yang ada miy*bi itu, aduh porno banget kali yg bikin tuh
    nerbitin buku emang ga ada lembaga sensornya yah?

    Reply
  6. Dinneno

    Harusnya materi yang belum dicetak menjadi buku harus disetor dulu ke Dinas Pendidikan pusat untuk proses editing. Menurut saya kalau Dinas pusat yang memeriksa akan lebih ketat, walaupun gak menutup kemungkinan jebol juga.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *