Di bulan Ramadhan, setiap daerah tentu punya tradisi sendiri menyambutnya. Sebut saja munggahan dan padusan di daerah jawa. Nah, Kali ini saya ingin berbagi tentang hal yang membuat saya merindukan Ramadhan di masa kecil saya di Pulau Bangka. Tradisi “Lampu Likur” namanya.
Lampu Likur adalah pelita yang dinyalakan menjelang berakhirnya bulan Ramadhan. Lebih terkenal dengan nama Tujuh Likur karena memang mulai dinyalakan di Sepuluh hari menjelang Idul Fitri. Bagi anak – anak, Tujuh Likur tidak hanya simbol budaya, namun juga pertanda bahwa sebentar lagi akan lebaran.
Banyak cara membuat Lampu Likur
Dulu ketika masa kecil, ada banyak cara yang digunakan untuk membuat lampu likur. Ada yang dibuat dari bambu panjang yang dibuat lubang – lubang kecil untuk sumbu. Ada juga yang dibuat dari bekas botol obat sirup, kaleng bekas minuman ringan, bahkan ada yang dibuat dari bohlam.Tapi dipastikan setiap rumah menyakalan lampu likur di halaman rumah.
Saya sendiri ketika kecil lebih sering membuat lampu likur dari botol bekas obat sirup. Selain lebih mudah, lampu likur ini jika tidak musimnya lagi, bisa dimanfaatkan untuk penerangan di malam hari ketika listrik dari PT Timah mati (Dulu belum ada PLN).
Lazimnya, lampu likur dinyalakan setelah maghrib. Biasanya di malam pertama setiap rumah menyalakan satu lampu likur. Begitu seterusnya hingga malam ketujuh, tujuh buat likur sudah benderang berlanjut hingga malam hari raya (Takbiran). Lampu dibiarkan menyala hingga subuh menjelang. Selain itu, kami juga biasanya bermain kembang api di halaman rumah dengan lampu likur tersebut.
Catatan Sejarah
Tak ada catatan sejarah kapan bermulainya tradisi ini di Bangka Belitung. Hanya saja, tradisi Tujuh Likur identik degan etnis melayu karena dari beberapa sumber, tradisi ini juga berlangsung di Lampung, Banjarmasin, Riau, Jambi, dan Bengkulu. Banyak yang beranggapan di kampung saya, Tujuh Likur sebagai simbol syukur karena Allah SWT masih menyampaikan kita ke bulan yang penuh berkah itu. Apalagi, 10 malam terakhir (mulai malam ke-21) Allah SWT menjanjikan pahala yang berlimpah dengan malam Lailatul Qodar.
Lampu likur bertransformasi
Entah karena harga minyak tanah yang melambung tinggi, awal tahun 2000-an, tradisi lampu likur minyak tanah bergeser ke lampu hias. Banyak rumah mengganti lampu likur bambu maupun botol mereka ke lampu hias berwarna warni. Tetap semarak sebenarnya, namun tetap saya merasakan ada yang hilang disana 🙁
Di Bangka sendiri, akhir – akhir ini digalakkan kembali budaya lampu likur agar terus dilestarikan. Pusatnya di Desa Mancung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat. Tahun lalu, bahkan diadakan festival 10.000 Lampu Likur bertajuk Kampung Ramadhan di desa tersebut. Biasanya setiap desa membuat lampu likur dengan berbagai bentuk dan dipajang di gerbang desa.
Insya Allah, tahun ini saya berkesempatan bersama isteri pulang ke Bangka. Mudah – mudahan masih bisa menyaksikan budaya likur yang dilestarikan tidak hanya di Desa Mancung pusatnya, tapi di kota kelahiran saya, Koba.
Sumber Foto :
kalau di kampung saya, di jember namanya 'pitu likur an' yang artinya sama dengan yg anda tulis di atas. tradisi seperti ini hampir2 mirip ya di semua daerah.
Yups betul sekali
Assalamu’alaikum Kak…wktu cari2 bahan ajar ttg budaya Babel, ketemu kek Tulisan ni…bnyk adat kite lh mulai hilang kak…
Betul Mei… siape agik yg ngelestariken kalo ukan kite sendiri