Libur tiba, rapor pun telah diterima oleh para siswa. Ada yang gembira karena juara kelas, ada yang sedih karena tinggal kelas, bahkan mungkin ada yang biasa – biasa saja karena memang setiap tahun nilainya tak jauh dari angka pas – pasan. Dan para orang tua pun sibuk bertanya.
“Anakmu rangking berapa?”
“Selalu dong, rangking satu di kelasnya. Anakmu?”
“Yah tau sendiri. Ga jauh dari semester kemaren, urutan paling bontot.”
Sebegitu pentingnya kata “Rangking” atau “Peringkat” hingga selalu menjadi bahan pertanyaan pertama ketika rapor dibagikan.
Meski ketika saya sekolah dulu sejak SD bahkan hingga kuliah selalu mendapat peringkat 5 besar (Ngga sombong koq, heheh), sejak jadi guru saya tidak tertarik sekali dengan Rangking. Bahkan ketika saya menjadi wali kelas sejak awal tahun ajaran, saya sudah ber”azzam” untuk pelan – pelan menghapus rangking dari rapor. Untungnya rapor diknas sekarang tidak menyediakan kolom peringkat seperti rapor saya jaman dulu.
Bukan saya alergi dengan Rangking (Mengurutkan anak dari level tertinggi ke level terbawah berdasar nilai akademik), tapi sistem ini cenderung membanding – bandingkan anak yang satu dengan anak yang lain. Ujung – ujungnya tentu menyakitkan anak itu sendiri. Dua dampak negatif yang paling kentara adalah jika anak memperoleh rangking yang bagus dia rawan bersikap sombong. Yang kedua bagi anak yang tertulis di rapornya Rangking 36 dari 36 siswa tentu bisa membuatnya menjadi minder (rendah diri).
Padahal, setiap anak itu unik. Mereka memiliki kebutuhan individual dan kemampuan menangkap pelajaran di sekolah yang tidak sama.
Usaha membuat rapor tanpa rangking tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak tantangan baik dari orang tua bahkan guru sendiri. Heran juga, masih ada guru yang sibuk membandingkan para siswanya antara yang “Pintar” dan yang “Bodoh” (Baca: Kurang Pandai). Padahal hasil yang diperoleh anak adalah hasil kerja para guru. Kalau anak gagal, ya karena kerja gurunya belum maksimal.
Lain guru, lain orang tua. Ketika di rapor sudah tidak dicantumkan, tetap saja mereka sibuk bertanya anaknya berada di urutan berapa di kelas. Memang sih, ada yang beralasan supaya menjadi motivasi bagi anaknya untuk belajar lebih giat. Alih – alih menjadi motivasi, terkadang ketika tahu anaknya berada di urutan bawah para orang tua malah sibuk memarahi anaknya. Tragis!
Lebih baik orang tua dan guru mengajak bersyukur apapun hasil yang diperoleh anak adalah kerja keras mereka di sekolah. Berfokuslah pada perkembangan anak bukan pada kekurangannya dibandingkan teman – temannya.
Saya punya seorang siswa kelas 1 yang awal masuk di sekolah kami menulis pun belum bisa. Jangankan berhitung, kenal angka dua digit (11-20) pun belum. Membaca apalagi. Jadi tulisan apa yang tertulis seperti itulah yang dia tiru di bukunya. Tapi, bagaimana kondisinya di akhir tahun? Subhanallah!! Membaca sudah lancar termasuk memahami bacaan sehingga nilai Ujian Kenaikan Kelas (UKK) nya cukup baik. Hanya saja nilai mata pelajaran Matematika nya masih di bawah KKM. Lantas, apakah anak ini kita cap Gagal? Sedangkan progress perkembangannya sungguh luar biasa.
Jadi saya ingin mengajak para guru dan orang tua, mari kita hargai anak. Menghargai anak menghargai diri kita sendiri yang telah mendidik mereka.
Ohya, untuk sekolah yang ingin menghilanhkan sistem rangking bisa dilakukan dengan pelan – pelan dan bertahap. Awal mungkin bisa tulis sampai 10 besar, semester berikutnya sampai lima besar, berikutnya tiga besar, hingga tidak perlu ditulis sama sekali. Jangan lupa berikan selalu stimulus agar para orang tua menghargai perkembangan anaknya, sekecil apapun itu.
Sumber Gambar : munifchatib.wordpress.com
saya sangat setuju sekali denga hal ini, sistem pendidikan kita memang perlu diadakan perubahan sedikit-demi sedikit
Dunia pendidikan kita masih terbelenggu dengan pemeringkatan, padahal kalau dievaluasi malah menjadi bumerang bagi anak-anak..
hahai dilematis sekali.. sama aja kaya istri saya kalau udah mau ngisi raport tuh aga heboh 😀 sering cerita juga sih ngajar kelas 5 masih ada aja yang ketinggalan belum banyak bisa yang dikerjakan..
kayanya pendidikan dinegara kita kalo dipersulit lagi pasti banyak kecurangannya
Harus mau berubah 🙂
Intinya, kita hargai anak – anak kita mas Gie
*Lho udah punya anak?
Hahah, sekarang udah sulit dipersulit lagi?
@papap arfa,
Yg ketinggalan kita tambah programnya Mas. Biar bisa berkembang setara dengan teman – temannya
Rangking bener2 gak ngejamin keberhasilan seseorang.. Banyak teman2 ana yg rangkingnya ga pernah bagus, tapi dia bisa jebol d Perguruan tinggi faforit, sebaliknya yg juara, malah gagal..
Tapi, kalo rangking dihapuskan, berarti kita g punya lagi suatu tolak ukur dalam PBM.. Dan ana rasa rangking itu bisa jadi motivasi bagi seluruh siswa, yg juara 1 termotivasi gimana caranya buat mmpertahankan
Terlalu sempit kalo Rangking dinilai sebagai motivasi. Justru bagaimana caranya tanpa hal spt itu kita tetap bisa termotivasi.
Lain kali saya jabarin banyak dampak negatif dari 'Rangking'
Rangkinh jg ga bisa disamakan dg penghargaan krn sempit dibatasi oleh ranah kognitif. Contoh dr mas tsb jadi tolak ukur rangking ga dibutuhkan di sekolah. Bayangkan anak yg berprestasi di