
Beban Ujian Nasional
Tak terasa Ujian Nasioal (UN) sebentar lagi. Dan siswa – siswi saya di kelas 6 sudah sibuk jauh – jauh hari dengan jam tambahan hingga try out yang dilakukan hampir setiap hari. Sedih memang melihat mereka seperti itu. Terbebani? Saya rasa iya. Hampir semua anak sekolah di Indonesia terbebani dengan UN yang setiap tahun kriteria kelulusannya semakin meningkat. Lalu apa yang salah?
UN versinya Pendidikan di Indonesia menjadi satu – satunya tolok ukur kelulusan seorang siswa setelah menimpa ilmu sepanjang waktu tertentu, 6 tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) dan 3 tahun untuk tingkat SMP dan SMA. Ya, perjalanan panjang anak selama 6 tahun atau 3 tahun tersebut dipertaruhkan hanya dalam waktu 3 hari. Dan jika satu saja dari 3 hari tersebut gagal, anak langsung mendapatkan predikan “Anak Gagal” karena tak lulus UN.
Ironis sekali memang, sehingga wajar jika kemudian anak yang lemah iman mencari jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya.
Mungkin bagi para pemangku hajat UN, saya anak kemarin sore yang belum juga satu tahun terjun ke dunia pendidikan. Tapi yang saya rasakan ketika bersentuhan langsung seperti ini saya jadi memahami kondisi pendidikan di Indonesia seutuhnya. Dimana tujuan pendidikan untuk mendidik anak – anak menjadi manusia seutuhnya berubah haluan. UN menjadi satu – satunya tujuan pendidikan sehingga apa yang anak – anak lakukan di sekolah harus mengarah kepada bisa lulus dalam Ujian Nasional. Tak peduli dengan prosesnya apakah sesuai dengan tahapan perkembangan usia mereka.
Karena UN pula, banyak bidang pendidikan yang terabaikan. Sekolah hanya fokus mengejar ketertinggalan anak dalam bidang Matematika, Bahasa, dan Sains. Mereka lupa manusia sebagai makhluk sosial. Mereka lupa dengan indahnya seni. Mereka lupa dengan Olah Raga yang mencetak para atlit yang mengharumkan nama bangsa. Sekolah hanya soal Matematika, Bahasa, dan Sains.
Akhirnya berbagai macam cara dilakukan agar selamat di UN. Mulai dari langkah positif semisal orang tua memaksa anak mengikuti bimbingan belajar, sampai hal – hal yang membuat kepala menggeleng – geleng. Masih terngiang dalam ingatan kasus pertengahan 2011 lalu saat seorang anak di Jawa Timur harus diusir bersama keluarganya karena menolak memberikan jawaban Ujian Nasional kepada temannya. Itu hanya segelintir saja. Praktik curang seperti itu mewabah di Indonesia. Mulai dari para guru sampai pemangku jabatan pemerintahan yang berkenan dengan pendidikan maupun tidak. Mulai dari mencontek hingga menipulasi hasil ujian.
Ya, karena UN menjadi begitu pentingnya pendidikan di Indonesia menjadi komoditas politik. Tentu para pemimpin daerah berlomba – lomba ingin siswa – siswi di daerahnya lulus 100% dengan cara apapun.
Dengan kondisi ini, siapa lagi yang dirugikan kalau bukan Anak – anak kita.
sumber gambar : kompasiana
evaluasi memang penting, untuk mengukur dan perbaikan. UN yg sekarang sudah lumayan lebih baik saya kira, karena untuk tingkat SD masih memakai hasil belajar kelas 4-6, tak tahu kalau tingkat SMP, SMA. Memang pembelajaran jadi lebih terfokuskan pada mata pelajaran yg di UN kan. Selain itu kemampuaan UN untuk menilai/mengukur aspek-aspek yg selain kognitif masih disanksikan. Bukan hanya anak yang
Maksudnya sih baik, tapi pelaksanaannya ngga banget 😀
Iya, begitu miris melihat bagaimana orang-orang dewasa mengajarkan anak2 untuk berbuat curang dan lebih parah lagi, kecurangan tsb sudah jadi kewajaran dan kebiasaan.
Mau jadi apa anak-anak ini kelak? Koruptor generasi berikutnya?
UN boleh susah dan sulit, tapi bukan berarti kita harus berbuat curang.
Jadi, ada solusi kira2 Mba?
Solusinya? Kalau menurut pendapatku, belajar giat, banyak membaca ^^
Oke, bisa juga
hehe repot banget ya kalau udah mau UN..alhamdulillah tahun ini istri saya dipindah kelas ke kelas 5 karena kemarin sedang hamil dan sekarang cuti melahirkan..kalau enggak tahun ini megang kelas 6 lagi.. saya suaminya juga ikutan repot koq 😀
Yang repot sampe suami (pasangan) ternyata
menurut saya sistem pendidikan semakin lama sudah memberikan perkembangan yang sangat positif …
kalau masih ada kurangnya ya wajar aja…
setuju..
[…] saya sudah menulis tentang ketidaksetujuan saya terhadap UN. Saya memang satu dari sekian banyak yang menolak UN. Bukan karena takut menghadapinya, namun […]