Ada yang berbeda dengan masjid kami. Perumahan tempat aku tinggal sekarang mempunyai 2 buah masjid besar (Jami’) belum termasuk masjid maupun musholla lainnya. Salah satunya tidak jauh dari rumah. Biasanya saya shalat di masjid ini namun kadang jika sudah merasa tertinggal, aku menuju masjid perumahan sebelah karena lebih dekat namun harus menyeberang sawah (Heran kan di kota masih ada sawah).
Nama masjid yang tidak begitu jauh tersebut baiturrohmah. Masjid jami’ yang tampak sederhana ketimbang yang satunya di blok depan.
Nah, ada yang berbeda dengan masjid kami ini. Tepatnya saat shalat maghrib, saya melihat sesuatu di lantai. Wahhh… Karpet ternyata. Padahal saya tau kebanyakan jama’ahnya agak ‘alergi’ dengan penggunaan karpet apalagi sajadah. Bisa merusak kekhusyuan, begitu alasannya. Meskipun juga ada yang beralasan lain bahwa sujud dalam shalat itu tidak boleh dibatasi oleh apapun. Tapi sudahlah… saya tidak sedang membahas keragaman tersebut. Biarlah itu menjadi keragaman yang dapat membangkitkan semangat persatuan antar jama’ahnya.
Sebenarnya untuk membeli karpet mewah seperti yang ada sekarang, bisa lebih dari 10x luas masjid. Setiap jum’at saya tahu perkembangan dana infaq dan shadaqoh di masjid karena memang dilaporkan oleh DKM. Hanya saja, yang saya sayangkan adalah optimalisasi penggunaan dana tersebut. Bayangkan, dengan kas hampir bernilai 70juta rupiah, masjid ini tampak sangat-sangat sederhana. Toiletnya saja saya tak tega masuk ke dalam.
Okelah, masjid tidak perlu bermegah-megahan. Tapi seharusnya dana umat sebegitu besar bisa lebih banyak berarti ketimbang disimpan di bank sambil menunggu bunga depositonya. Contohnya, perumahan tetangga. Masjidnya selain besar, rapi, dan bersih juga mempunyai ambulance yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitar, baik muslim maupun nonmuslim. Bahkan, yang saya dengar sebentar lagi masjid tersebut akan mendirikan klinik sebagai sebuah solusi kesehatan murah dan terjangkau bagi warga dan jama’ahnya.
Inilah sebenarnya konsepsi penyaluran dana infaq dan shodaqoh. Dana tersebut bisa dialihkan kepada sektor lain selain pembangunan fisik masjid.
Beasiswa misalnya. Kenapa tidak dana sebesar itu digunakan untuk membiayai pendidikan anak – anak yatim dan dhuafa. Juga kalau memungkinkan adakan pembinaan mental dan motivasi rutin di masjid agar semangat anak – anak tersebut dalam menuntut ilmu terus meningkat.
Langkah lainnya, dana yang besar itu bisa dimanfaatkan untuk pelatihan – pelatihan keterampilan dan wirausaha. Menggaet pemuda – pemuda yang putus sekolah maupun pengangguran, kemudian memberikan keterampilan maupun skill yang dapat membantu mereka lebih produktif dan tidak menjadi “sampah masyarakat”.
Masih banyak hal lain yang dapat dilakukan. Sewaktu ikut Pelatihan Kepemudaan Asia Tenggara tahun 2007 silam, saya senang sekali mendengarkan sharing teman – teman dari Singapura. Bagaimana masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga termanfaatkan selain untuk kegiatan sosial juga pendidikan. Bahkan di Masjid Kampong Siglap, Singapura, ada Sarana Panjat Dinding. Ini tentunya akan menarik ‘minat’ pemuda yang memang semakin menurun, untuk datang ke masjid.
Saya hanya heran. Kebanyakan masjid di Indonesia ini seperti berlomba-lomba dengan besarnya dana kas mereka. Padahal yang lebih utama adalah kemanfaatan dana tersebut bagi jama’ah maupun warga sekitarnya. Semoga ini (pemasangan karpet) bisa jadi langkah awal bagi masjid kami untuk lebih membuka diri dengan usul-usul masyarakat. Amiin…
sy sebenarnya punya konsep pengelolaan dana masjid, namun pernah coba diobrolkan langsung ditolak.
mungkin kapan2 sy tuliskan di blog. soalnya sdh lama mau nulis tema itu tp hrs ngantre dulu hehehehe
kemudian kawan sy dan saya pernah juga buikin lembaga audit masjid yg misinya mengkritisi penggunaan kas masjid. Tp br tingkat kota Solo, dan berawal dr obrolan2 dg bbrp takmir masjid.
Hohoho… saya sampe kepikiran spt itu jg Mas
Tidak menyalurkan Infaq & Shodaqoh ke Masjid krn memang ga Optimal
Ide lembaga Audit itu bagus tuh π