Toleransi bukan Partisipasi, Bolehkan Mengucapkan Selamat Natal ?

By | December 24, 2010

Sebenernya saya malas membahas ini. Ya, karena ini sudah banyak dibahas orang lain yang lebih kompeten mungkin di bidangnya. Lho, berarti saya tidak kompeten? Bukan begitu, saya hanya terpanggil ingin berbagi karena sampai tahun 2010 ini masih banyak teman – teman saya yang bingung akan Hal ini. Terutama kaum muda.

Besok tepatnya, umat Nasrani di seluruh dunia akan merayakan Natal. Sebagai umat muslim, banyak teman – teman saya yang masih salah kaprah menyingkapi akan Natal dalam tatanan kerukunan hidup beragama.

Saya sendiri berprinsip bahwa Toleransi itu bukan Partisipasi. Jadi jangan heran kalau saya tidak ikut – ikutan menikmati kemeriahan Natal seperti yang diagung – agungkan sekelompok orang liberal di luar sana. Yang mana mereka sibuk memprovokasi kaum muda bahwa merayakan serta menikmati kemeriahan Natal tidak harus menjadi kristen. Sungguh absurd…

Yang saya nikmati dari Natal tahun ini bahwa saya bisa ikut libur di hari Sabtu, dimana tahun – tahun sebelumnya perayaan Natal jatuh pada hari selain Sabtu. Sedangkan jikalau Sabtu saya harus kuliah.

Yang masih sibuk diperdebatkan sampai saat ini adalah bagaimana harusnya umat muslim dalam posisi bertoleransi dengan pemeluk agama Nasrani. Seperti prinsip saya tadi, toleransi bukan berarti partisipasi. Dengan toleransi, sudah sepantasnya kita tidak mengganggu umat Nasrani yang sedang menikmati kemeriahan hari rayanya. Dengan toleransi, wajar pula jika Masjid Istiqlal yang berhadap – hadapan langsung dengan Gereja Katedral, menyumbangkan lahan parkirnya untuk mobil – mobil umat Nasrani yang akan mengikuti misa. Dengan toleransi pula, tidak salah jika ada anak pramuka dari saka Bhayangkara ikut mengatur lalu lintas agar umat Nasrani yang akan mengikuti misa di malam Natal, atau esok harinya, tidak terjebak oleh kemacetan sehingga tertinggal wejangan dari Romo, Pastur, maupun Pendeta mereka.

Tapi toleransi bukan partisipasi. Jadi tak perlu hanya karena takut dibilang tidak toleran, umat muslim ikut – ikutan dalam acara Natal yang diselenggarakan Gereja, maupun pusat keramaian seperti mall juga stasium televisi. Ya, seperti yang ditunjukkan pejabat – pejabat. Dengan alasan “toleransi” mereka ikut dalam misa Natal di gereja. Ataupun beberapa artis yang mengaku muslim tapi larut dalam kemeriahan menyanyikan lagu – lagu rohani. Juga tanpa tedeng aling – aling tiba tiba kita ikut dan bangga berpakaian ala Santa Claus.

Lantas, bagaimana dengan mengucapkan Selamat Natal? Ini yang juga masih diperdebatkan sampai saat ini.

Ulama sendiri punya pandangan yang berbeda tentang mengucapkan Selamat Natal bagi umat Nasrani yang merayakannya. Ada yang mengharamkan, ada yang membolehkan, ada juga pendapat pertengahan.

Yang mengharamkan misalnya seperti yang dikutip dari Ustadz Ahmad Sarwat, Fatwa Syeikh Al – Utsmani alam kitab Majma’ Fatawa Fadlilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Ada juga fatwa Ibnul Qayyim Dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah beliau berkata, “Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama. Alasannya karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan.

Yang membolehkan misalnya Ust. Yusuf Qardlawi, ulama Fiqh kontemporer dari timur tengah. Menurut Al – ustadz, merayakan hari raya agama adalah hak masing-masing agama. Selama tidak merugikan agama lain. Dan termasuk hak tiap agama untuk memberikan tahni”ah (ucapan selamat) saat perayaan agama lainnya. Kebolehan memberikan tahni”ah ini terutama bila pemeluk agama lain itu juga telah memberikan tahni”ah kepada kita dalam perayaan hari raya kita.

Ini pas sekali waktu saya tinggal di kota kecil di Pulau Bangka, kami hidup berdampingan dengan umat Nasrani, Konghucu, dan Buddha. Jadi dalam konteks hidup bertetangga dengan mereka, kami saling memberikan ucapan saat masing – masing merayakan hari raya. Tentu tanpa harus ikut merayakannya.

Di dalam bank fatwa situs www.Islamonline.net Dr. Mustafa Ahmad Zarqa”, menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang muslim mengucapkan tahni’ah kepada orang kafir.

Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut jenazah tersebut.

Sehingga menurut beliau, ucapan tahni”ah kepada saudara-saudara pemeluk kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka, tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya bagian darimujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang muslim kepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda agama.

Namun beliau menyatakan bahwa ucapan tahni”ah ini harus dibedakan dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan menghadiri perayaan-perayaan natal yang digelar di berbagai tempat. Menghadiri perayatan natal dan upacara agama lain hukumnya haram dan termasuk perbuatan mungkar.

Kemudian, bagaimana dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Karena patokan hidup beragama kita setelah Al-qur’an dan As-sunnah adalah Ijtihad Ulama, dan di Indonesia sendiri Ijtihad Ulama dilakukan oleh sekelompok Ulama di MUI, maka tidak salah kemudian kita ikut dengan apa yang sudah beliau – beliau disana Fatwakan.

Sejauh ini, saya memang belum menemukan fatwa MUI yang mengharamkan mengucapkan selamat kepada mereka yang merayakan Natal. Yang diharamkan MUI adalah ikut dalam perayaan – perayaan Natal bersama.

Sekretaris Jenderal MUI, Dr. Dien Syamsudin MA, yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu memang pernah menyatakan bahwa MUI tidak melarang ucapan selamat Natal, tapi melarang orang Islam ikut sakramen (ritual) Natal.

“Kalau hanya memberi ucapan selamat tidak dilarang, tapi kalau ikut dalam ibadah memang dilarang, baik orang Islam ikut dalam ritual Natal atau orang Kristen ikut dalam ibadah orang Islam, ” katanya.

Selain itu pula, pendapat yang pertengahan tidak mengharamkan secara mutlak juga menghalalkannya secara mutlak pula. Ada Tahni’ah yang halal, ada yang haram. Yang halal tentunya tidak bertentangan dengan syariah, seperti ucapan “Semoga tuhan memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada Anda di hari ini.”

Sedangkan ucapan yang mengandung unsur bertentangan dengan masalah diniyah, hukumnya haram. Misalnya ucapan tahni’ah itu berbunyi, “Semoga Tuhan memberkati diri anda sekeluarga.”

Adapun memberikan hadiah kepada non muslim dibolehkan, sepanjang hadiahnya halal, bukan khamr atau minuman keras, gambar – gambar maksiat, atau apapun yang sudah jelas – jelas diharamkan oleh Allah SWT.

Cukup panjang ya, semoga tidak Bosan. Lalu, bagaimana kita yang awam ini bersikap?

Ketika melihat para ulama berbeda pandangan, tentu kita harus arif dan bijaksana. Kita tetap wajib menghormati perbedaan pendapat itu, baik kepada pihak yang fatwanya sesuai dengan pendapat kita, atau pun kepada yang berbeda dengan selera kita.

Karena para ulama tidak berbeda pendapat kecuali karena memang tidak didapat dalil yang bersifat sharih dan qath”i. Seandainya ada ayat atau hadits shahih ya
ng secara tegas menyebutkan: ”Alaikum bi tahni”atinnashara wal kuffar”, tentu semua ulama akan sepakat.

Jadi tak perlu saling menyalahkan atau menghakimi –> Ohh… si A ngucapin Natal, dia sudah Kafir. Atau yang berpadangan boleh mengucapkan selamat Natal, tak perlu mengata – ngatai mereka yang berpendapat haram sebagai Islam Garis Keras dan tidak toleran.

Semoga kita tidak terjebak dengan suasana su”udzdzhan, semangat saling menyalahkan dengan sesama umat Islam dan membuat kemesraan yang sudah terbentuk menjadi sirna. Amin ya rabbal ”alamin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *