Karena Aku Mencintaimu

By | December 22, 2010

Ini bulan ketiga pernikahan kami. Juga bulan ketiga aku meninggalkannya di rumah. Kerja di kota yang berbeda memaksa kami yang baru saja melangsungkan akad nikah harus berpisah. Hanya 3 malam setelah akad nikah kami bersama, selebihnya aku banyak menghabiskan waktuku di Jakarta kantorku, juga di Karawaci kosanku.pelukan

Seminggu pertama meninggalkannya, aku masih merasakan rindu. Tapi berikutnya, rasa itu tiba – tiba memudar. Aku tak paham yang kurasakan, tapi seperti itulah. Jum’at petang selalu kupastikan untuk pulang ke Bandung, menemuinya, menghabiskan waktu dengannya dengan harapan rasa cinta itu terpupuk senantiasa. Tapi seolah gaya magnet yang tolak menolak, akhir – akhir ini boro – boro rindu, sekedar menanyakan kabar saja aku ogah.

Aku sempat berpikir, beban kerjaku mungkin terlalu banyak sehingga perhatianku sangat tersita banyak.  Seperti hari ini, aku harus pulang menjelang maghrib.

Suasana bis jurusan Kampung Melayu – Karawaci yang aku naiki cukup padat. Hanya bagian tengah saja yang masih kosong sehingga memaksaku berdiri di bagian depan. Tiba di Slipi, satu persatu penumpang di bagian tengah bertambah sampai akhirnya menjadi benar – benar padat. Mataku tertuju pada sesosok wanita di bagian belakang. Bukan karena kecantikannya, tapi perutnya yang membesar.

Aku menggerutu. Separah inikah rasa sosial masyarakat Jakarta sekarang sampai tak satu pun yang berkenan memberikan wanita tersebut tempat duduk. Di belakangnya tampak Dua ibu tua dengan barang belanjaan yang cukup banyak duduk terkantuk – kantuk. Dua bangku di kanannya, Dua orang bapak tertidur pulas. Ingin aku membangunkan mereka. Sedangkan satu bangku di kirinya diisi anak perempuan muda yang sibuk dengan IPodnya.

Tiba – tiba aku terkantuk. Mata yang cukup lelah akibat menatap layar monitor seharian, ditambah kerjaan yang memang sedang menjadi deadline sedikit melupakan kekesalanku melihat kejadian tadi.

Ciiittt… aku dibangunkan dengan kekagetan rem mendadak yang diinjak oleh supir bis.

“Ada yang jatuh!” tiba – tiba terdengar suara seorang bapak berteriak dari bagian belakang.

Aku tersentak karena terdengar rintihan. Perempuan muda yang tadi sibuk dengan IPodnya menjerit histeris melihat darah.

Allahuakbar… Aku meminta supir menghentikan laju bis. Kemudian aku meringsek berusaha menuju kerumunan orang – orang di belakang yang berusaha menolong wanita hamil yang mengalami pendarahan tersebut.

“Harus dibawa ke Rumah sakit segera,” Aku ikut menjadi panik. Kemudian merasa bersyukur karena bis masih di seputaran Kebon Jeruk.

Aku, Seorang bapak, dan anak muda yang juga berdiri dekat wanita hamil tersebut menggotongnya keluar bis. Baru tersadar kalau kami di Jalan Tol yang tidak memungkinkan untuk bis berbalik arah.

Suasana heboh seketika. Banyak yang turun dari bis, termasuk kondektur kemudian berusaha menghentikan laju kendaran lain agar kami yang menggotong ibu itu bisa menyeberang. Kami putuskan berbalik arah karena gerbang tol Puri Indah lebih dekat di arah sebaliknya ketimbang harus menunggu gerbang tol Karang Tengah.

Ini soal nyawa…

Aku tak peduli lagi dengan darah yang membasahi kemeja kerjaku. Syukurlah ada salah satu mobil pribadi yang bersedia berhenti dan mengantar kami ke RS Puri Indah. Sepanjang perjalanan wanita tersebut hanya merintih hingga kemudian pingsan saat mobil yang membawa kami memasuki halaman Instalasi Gawat Darurat.

Aku bertambah panik. Untunglah suster – suster di Rumah Sakit tersebut cepat tanggap dan ikut membantu menurunkan wanita tersebut. Setelah dibawa masuk ke ruang IGD, kepanikanku menjadi – jadi. Ini siapa yang harus dihubungi. Bagaimana kalau terjadi sesuatu terhadap wanita tersebut. Bagaimana pula suaminya.

Ya aku baru ingat, wanita tersebut membawa tas. Aku langsung membongkarnya dan akhirnya menemukan handphone. Membuka buku telepon dan menemukan nama “CINTA” – 021987xxxxx. Tanpa Ba – Bi – Bu, langsung ku telepon nomor tersebut. Benar saja, suara lelaki di seberang sana jauh lebih panik dari pada aku.

Setengah jam sudah wanita itu di dalam. Suaminya yang telah kutelepon belum juga datang. Tiba – tiba aku teringat isteriku, cintaku.

Tak terasa air mataku mengalir. Membayangkan yang ada di dalam adalah dia, Cintaku, Anggrek Bulanku. Dia yang akan menjadi ibu dari anak – anakku. Dia yang akan menemani hari tuaku. Dia yang di hari pertama pernikahan kami, membangunkanku dengan kecupan mesra. Dia yang di hari ketiga saat aku akan meninggalkannya menangis tersedu tapi tetap membantu membereskan barang – barangku. Dia yang di seminggu pertama aku kembali ke rumah, memasak untukku Tempe Bacem, masakan kesukaanku yang walaupun rasanya sedikit aneh karena kutahu dia berusaha belajar membuatnya setiap hari bersama Ibu. Dia… Cintaku

Ya Allah, maafkan aku yang telah lalai …

Aku jadi menangis tersedu – sedu sekarang. Mengingat – ingat kembali kesalahanku. Mengingat – ingat kembali telah melalaikan dia, cintaku, yang selalu menunggu kedatanganku di akhir pekan.

Begitu besar perjuangan seorang wanita. Selain harus berbakti pada orang tuanya, juga berkewajiban taat pada suami, serta penuh kasih sayang kepada anak – anaknya. Sehingga Adil jika Rasulullah Saw menempatkan Ibu lebih mulia derajatnya dibanding ayah. Karena begitu besar pengorbanan seorang wanita.

Dalam kasus yang kutemui ini bahkan, seorang wanita rela membagi nutrisi tubuhnya untuk anak yang dikandungnya. Rela menghabiskan tenaganya untuk membawa serta merawat calon anaknya agar buah hatinya itu bisa melihat dunia yang fana ini.

Satu Jam, Lamunanku dibuyarkan oleh seorang lelaki yang terlihat cemas.

“Mas yang tadi telepon saya?” tanyanya padaku.

“Humm, iya. Anda Aldi?”

“Ya. Isteri saya bagaimana Mas?”

“Masih di Dalam. Nanti Aldi langsung ke dokter saja. Ini barang – barang isteri anda, saya mohon maaf telah menggunakan handhponenya tanpa seizin beliau.”

“Ohh… tidak mas. Saya yang harusnya berterima kasih.”

Aku menyerahkan tas dan handhphone wanita itu kepada suaminya.

“Saya harus segera pulang,” pamitku.

“Sekali lagi saya dan keluarga mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya atas kebaikan mas,… hmm siapa?” Aldi mengajakku berjabat tangan.

“Satria,” aku menjabat tangannya kemudian berjalan ke arah toilet untuk membersihkan noda darah di kemeja dan celanaku.

Di Toilet, tiba – tiba aku teringat kembali pada Cintaku. Aku harus pulang ke Bandung, malam ini juga. Langsung ku telepon agen travel yang terdekat. Alhamdulillah.. Masih ada satu perjalanan lagi. Aku bersyukur luar biasa.

Setelah shalat isya di masjid Rumah Sakit, mobil travel yang sudah kutelepon tiba sekitar pukul 22.00. Aku langsung naik dan tanpa mengabarkan sebelumnya, aku pulang.

Aku pulang, Cinta.

Setengah satu dini hari, aku tiba di halaman rumah orang tuaku. Aku mengetuk pintu dengan pelan.

“Assalamu’alaikum,”

“Wa’alaikumussalam,” jawab suara dari dalam. Suara itu, suara Cintaku.

Dia membukakan pintu sambil terheran.

“Lho, Mas Satria…..”

Belum sempat dia meneruskan kalimatnya, aku langsung memeluknya. Menumpahkan rasa salahku, menangis, mencium keningnya,  dan memeluknya erat. Erat sungguh erat.

“Maafkan aku Cinta……”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *