Surat Kecil untuk Abang

By | November 12, 2010

Kami memanggilnya Satria. Usianya 1 tahun di atasku, namun sama dengan beberapa teman – temanku di kelas. Anaknya terkesan manja, walau ku tahu sebenarnya Abang, aku memanggilnya, hanya minta diperhatikan. Di rumah, orang tuanya sibuk dengan karir masing – masing.

Abang anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya, Kak Maya, sekarang kuliah di Jogjakarta. Praktis, Abang di rumah sendirian. Aku, sepupu yang juga teman sekelasnya selalu diminta Ibu untuk menamani Abang setiap pulang sekolah. Mengingatkannya tentang tugas – tugas titipan bapak ibu guru di sekolah, Mengajaknya mengerjakan tugas tersebut bersama – sama, atau sekedar menemaninya bermain.

Tapi, sikapnya yang jayus dan juga rada berandalan membuatku sering menghindar dari dia. Bahkan, sering aku pura – pura banyak kegiatan sekolah hingga sore hari untuk menghindari permintaan ibu menemani siangnya.

Pun begitu di sekolah, Abang dan Gengnya menjadi musuh bersama kami, anak – anak KIR dan Seni Musik. Pasalnya, Abang sering menggangu penelitian kami atau latihan kami di studio sekolah. Tak hanya murid – murid satu angkatan, Abang juga dimusuhi beberapa kakak kelas dan beberapa guru yang kesal dengan kenakalannya. Yah, walaupun menurutku Abang sebenarnya nggak nakal. Kuulangi sekali lagi, hanya meminta perhatian.

Begitu juga dengan siang ini. Abang kembali membuat kekacauan di kelas. Sampai – sampai Pak Rudi, Guru Muatan Lokal Perkebunan, marah besar sehingga berdampak langsung kepada kami sekelas. Panas menyengat, keringat bercucuran, tapi yang kulihat hanya sinar kepuasan di wajah abang saat kami dijemur di lapangan Upacara.

Kadang aku mencoba mengerti dengan sikapnya yang aneh. Bagaimana tidak, saat bertandang ke rumahku abang terlihat akrab membantu Ibu memetik cabai di kebun kecil kami di belakang rumah. Dia terlihat ceria, ramah, senang bercanda dengan adik – adikku, hingga pernah kulihat Ibu merangkulnya, memeluknya seperti memeluk anaknya.

Ah… sudahlah. Toh, abang lebih banyak nakalnya.

Brak!!!! Aku terkejut bukan kepalang mendengar benturan keras di arah timur. Baru saja aku keluar lingkungan sekolah dengan sepeda BMX ku. Ada kecelakaan lagi? Aku mencoba menerka karena beberapa hari terakhir sering terjadi tabrakan di jalan raya dekat sekolahku.

“Dan, kesana yuk. Kayaknya parah tuh,” ajak Eki teman sekelasku.

Aku tak menjawab, namun mengikutinya di belakang.

Tak jauh lokasi kecelakaan itu. Yang kulihat sudah banyak orang bergerombol mengelilingi korban. Kulihat seorang bapak memapah ibu – ibu yang berlumuran darah di kening dan tangannya. Bahkan ketika dimasukkan kedalam mobil yang kebetulan berhenti, terlihat jelas lututnya robek.

“Dan, katanya anak sekelas kita yang tabrakan?” tiba – tiba Deasy, cewek mungil yang disukai Abang, berada di sampingku.

“Entahlah, aku belum melihat langsung,” jawabku.

Mataku terbelalak melihat sepupuku, Kak Randy, yang biasanya membonceng Abang dipapah juga menuju mobil yang tadi. Jangan – jangan…

Aku tak mau berburuk sangka. Tapi…terlambat. Kulihat abang meringis masih tertindih sepeda motornya yang terlihat ringsek.

Innalillahi…

Aku langsung menghampirinya, sedangkan beberapa laki – laki dewasa mencoba pelan – pelan mengangkat sepeda motor tersebut.

“Abang…,” tiba – tiba aku menangis sambil memeluknya.

“Nggak pa pa, Dan. Telepon Ibu gih. Tapi jangan kasih tau mama papa ya,” pintanya.

Aku langsung berlari ke arah sepedaku kemudian bergegas mengayuhnya menuju telepon umum terdekat.

Ibuku tak kalah kagetnya saat menerima kabar dariku. Setengah jam kemudian ibu dan ayahku tiba ruang IGD Rumah Sakit Umum Koba.

“Gimana kejadiannya Dan?” Tanya ayah padaku.

“A…aku nggak begitu tahu Yah,” aku menjawab tergugup.

Kulihat Ibu berurai air mata dan kemudian menghampiri dokter. Keduanya bercakap sebentar namun tampak serius.

“Satria harus segera di operasi Yah,” kata Ibu. “Dia hanya lecet kecil, namun tiga tulang keringnya patah.”

“Yah, pesan abang nggak usah kasih kabar papa mamanya,” aku menyela ketika melihat ayah sibuk dengan handphonenya.

Bisa kutebak kalau ayah pasti akan menghubungi Om dan Tante ku yang kebetulan sedang di luar kota. Apalagi untuk masalah sepenting ini.

“Kamu itu piye? Ini genting. Nggak denger Ibu tadi ngomong apa,” kali ini ibuku menyela sebelum sempat ayah berkomentar.

Aku tak tahu bagaimana kelanjutannya. Ibu menyuruhku pulang dan kudengar dari ayah kalau hari itu juga abang di bawa ke RSUD Pangkalpinang untuk segera ditangani oleh dokter yang lebih berpengalaman.

Raungan ambulance yang lumayan keras membangkitkanku dari tidur.

Jam 11 Malam. Ketika membukakan jendela kamar, kulihat ambulance tersebut berhenti di depan rumah abang. Ayah dan ibu pasti di sana karena rumah tampak begitu sepi. Karena penasaran aku pun menyusul.

Abang masih meringis saat ayah coba membaringkannya di atas kasur. Mamanya yang duduk disebelahnya terisak sambil mengusap keningnya.

Abang tak jadi di operasi. Dokter ahli patah tulang yang seharusnya menanganinya segera tak berada ditempat hingga satu minggu kedepan. Ya Allah…tabahkanlah hati abangku.

Tiba – tiba aku merasa kangen dengan Abang. Kelas pun serasa sepi tanpa tingkah polah yang rada jayus itu. Kini, sepulang sekolah aku benar – benar melaksanakan permintaan ibu untuk menemani abang di rumah. Terkadang aku mencoba membacakan pelajaran – pelajaran yang baru saja kupelajari padanya. Walaupun kemudian dia merasa bosan dan memintaku melakukan hal lain saja.

Sejak dibawa pulang, Abang hanya mendapatkan perawatan dari dukun dan tukang urut. Bahkan, kakinya terlihat semakin membengkak parah. Dan hari kelima sejak kecelakaan itu, aku mencium bau menyengat di kamarnya. Saat itu aku berdo’a semoga penciumanku yang salah. Aku tak ingin melihat kaki itu membusuk.

Telepon rumahku berdering. Ternyata kabar baik dari guruku. Grup kami memperoleh tiket untuk menjadi wakil Kabupaten Bangka dalam kompetisi Vokal Grup dan paduan suara se Sumatera Selatan. Ini artinya, kami akan berada di Palembang dua pekan hingga grand final.

Saat – saat di Palembang aku menjadi semakin sedih. Kata ibu, kaki abang harus diamputasi. Kalau tidak, akan berpengaruh pada sarafnya.

Astaghfirullah….Ya Allah, berikanlah yang terbaik bagi Abangku. Biarkan dia menikmati hari – hari indahnya bersama kami segera…

Mulusnya perjuangan kami di kompetisi tersebut sedikit melupakanku tentang abang. Hingga sepekan terakhir setelah Mamanya menolak diamputasi,tak ku dengar lagi kabar lainnya tentang abang. Semoga abang segera disembuhkan.

Alhamdulillah. Berkat doa dan dukungan teman – teman di sekolah, kami memenangkan kompetisi tersebut dan berhak menjadi wakil Propinsi Sumatera Selatan dalam Kompetisi Tingkat Nasional di Jakarta satu bulan lagi.

Saat kembali ke Koba, tak lupa selain membeli buah tangan untuk adik – adikku, kusempatkan membeli Komik Detective Conan favorit abang. Yang pasti edisi terbarunya belum ada di tempatku.

Tiba di rumah, setelah berganti pakaian aku bergegas membungkus komik tersebut dan menuju rumah abang.

“Kemana Dan?” Tanya ibu dari dapur.

“Assalamu’alaikum,” kucoba mengetuk pintu rumahnya.

Tak ada jawaban hingga kuputar gagang pintunya.

“Eh, Kang Danis. Masuk kang?” Bi ipah pembantu di rumahnya tergopoh – gopoh menyambutku.

Aku masuk dan menuju kamar abang. Sepi.

“Abang dimana Bi?” tanyaku sambil menaruh komik yang sudah kubungkus rapi dengan kertas kado di atas meja belajarnya.

Bi Ipah tidak menjawab atau mungkin tidak mendengar karena sibuk di dapur. Aku pun menghampirinya.

“Abang lagi main kemana?” Tanyaku sambil mencomot tempe goreng yang baru saja ditata bi Ipah di atas meja makan.

Kembali Bi Ipah tak menjawab.

“Bi…denger nggak sih?” aku memperkuat volume suaraku.

“ng…ng…anu..aduh.”

Keningku berkerut karena heran.

“anu…,” bi Ipah tak melanjutkan kata – katanya namun kemudian menangis.

“Kenapa Bi?” aku mulai curiga.

Bi Ipah memelukku.

“Abang udah pergi Kang…” tangis bi Ipah semakin menjadi.

“Pergi?” aku tambah heran dan semakin curiga.

“Pergi…pergi kemana Bi?”

“Abang…, abang meninggal lima hari lalu.”

Mendadak dadaku sesak. Butiran hangat yang tadinya keluar lembut perlahan mengalir cepat meninggalkan kelopak mataku.

Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji’un

* * *

Gundukan tanah itu masih basah. Tali putih kafan pun masih bersih terikat di dua nisan yang sedang kupeluk. Berbagai macam bunga yang ditabur di atasnya beberapa telah layu dan kering.

Abang… Selamat Jalan.

Do’aku senantiasa mengiringimu. Semoga Allah Swt memberikan tempat terbaik untukmu disana…

Untuk Sahabat kami di sana…… We Love you so much…

*Kisah ini sudah pernah ditulis di blog saya yang lain dg Judul “Satria & Kenangan Bersamanya” :

http://satria248.multiply.com/journal/item/145/Satria_Kenangan_Bersamanya

7 thoughts on “Surat Kecil untuk Abang

  1. viagra online bestellen

    In looking for web sites related to Internet internet hosting and specifically comparison hosting linux strategy web,
    your web site came up.
    You are a really sensible person!

    Reply
    1. bangsaid Post author

      Justru karena mamanya keukeuh pengen perawatan Medis. Sedangkan saat itu disana perawatan medis belum selengkap sekarang

      Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *