Belajar Lebih Sabar dari Anak

By | September 29, 2015

Hari Selasa pekan lalu, salah satu murid saya (sebut saja Rayyan) di kelas satu SD “ngamuk”. Padahal hari itu sebentar lagi akan datang asessor dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang untuk melakukan visitasi dalam rangka ijin operasional SMP. Tentu saya harus menjaga kondisi tetap “aman” ya. Apalagi pejabat yayasan juga hadir disitu. Tapi niatnya sih bukan soal itu, lebih kepada menjaga agar Rayyan tetap bisa nyaman di sekolah.

Sebenarnya Rayyan tipe anak yang tidak mudah mengamuk. Tapi sekalinya mengamuk begitu, merepotkan banyak orang. Wali kelasnya pun akhirnya harus menyerah menanganinya. Terpaksa saya turun tangan meskipun pihak yayasan meminta kehadiran saya di ruang rapat. Saat dipegang oleh wali kelasnya Rayyan berontak dan ingin kabur ke luar gerbang sekolah. Saya pegang tangannya sembari berlutut dan memeluknya yang sedang “meraung-raung”.

“Rayyan kenapa? Ada masalah? Yuk cerita. Pak Said ingin dengar cerita dari Rayyan,” bujuk saya dengan lembut.

Rayyan tak bergeming. Tapi raungannya sudah mulai mereda volumenya. Saya peluk lagi ketika dia mencoba untuk berontak.

“Oh… Rayyan tidak nyaman dengan teman. Sama siapa? Pak Said boleh tahu kan? Pak Said mau bantu Rayyan selesaikan masalahnya.”

Saya usap punggung dan kepalanya yang berkeringat. Saya pegang tangannya dengan lembut. Syukurlah akhirnya Rayyan mau beranjak dari halaman sekolah ke teras kelas. Saya ajak duduk dan mengambil botol minum miliknya, kemudian menawarkannya minum.

“Tubuh Rayyan mengeluarkan banyak keringat. Artinya ada banyak cairan yang terbuang. Sepertinya sekarang tubuhnya butuh minum,” sambung saya menawarkan minum untuknya.

Rayyan memegang botol minumnya, namun tidak langsung minum. Saya terus bicara padanya sambil mengusap keringat yang membasahi wajahnya.

“Pak Said sayang Rayyan. Semua guru disini sayang sama Rayyan. Semua teman juga sayang. Kalau ada masalah, kita bicarakan. Rayyan tidak nyaman sama siapa?”

Rayyan masih saja diam.

“Sama Andreas?” tebak saya, karena sebelumnya ketika berwudu saya melihat Rayyan terlibat konflik dengan teman sekelasnya, Andreas.

Rayyan mengangguk.

“Oh… masalah yang tadi belum selesai. Apa yang membuat Rayyan tidak nyaman? Perlu Pak Said panggil Andreas?”

Sementara itu, pihak dinas pendidikan sudah tiba di sekolah. Akhirnya Rayyan sudah mulai sedikit nyaman. Penyelesaian masalahnya ditangani wali kelas meskipun sebenarnya saya sangat ingin membantunya menyelesaikan masalah.

Anak Bermasalah sebagai Guru yang Mengajari Kita

Rayyan hanya salah satu murid “bermasalah” di kelas satu. Ada banyak murid lain dengan masalah yang serupa atau lebih serius dari itu. Kebanyakan anak masih suka tantrum ketika terlibat konflik dengan teman. Belum lagi anak-anak yang sangat menguji kesabaran. Tapi, itulah tugas guru. Membantu anak menyelesaikan masalahnya sampai akhirnya dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.

Guru sebagai manusia biasa tentu juga punya masalah sendiri. Namun di depan anak-anak muridnya, guru harus kesampingkan perasaan pribadinya. Justru anak-anak yang bermasalah tadi seharusnya menjadi ladang bagi guru untuk mempraktikkan kesabaran dan kasih sayang. Dengan adanya kesabaran dan kasih sayang dari guru, alih-alih merasa diabaikan, anak justru akan merasa diterima dengan baik karena ada orang dewasa yang peduli dengannya dan menyentuh hatinya.

Perasaan cinta dan diterima ini selanjutnya menjadi gerbang bagi keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah. Pun begitu dengan di rumah. Orang tua yang memberikan kesempatan kepada anak untuk dicintai dan dipahami, akan membantu anak menjadi lebih baik. Sebaliknya, perasaan tidak suka, tidak sabar, dan marah akan membuat anak sulit menerima orang tuanya sehingga anak akan mencari orang lain atau lingkungan yang bisa menerimanya. Ini akan sangat tidak aman jika kemudian anak malah tercebur kepada lingkungan yang tidak baik.

Jadi, yuk berpikir positif. Sambut anak-anak bermasalah tadi dengan cinta. Inilah jalan Allah Swt untuk menjadikan kita, guru dan orang tua yang lebih sabar, lebih berkasih sayang.

 

2 thoughts on “Belajar Lebih Sabar dari Anak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *